SEMARANG, Suaranahdliyin.com – Grup WhatsApp disinyalir menjadi ruang penyebaran hoaks paling banyak di antara media sosial lainnya. Kebanyakan hoax itu mengandung konten agama, sosial, bencana alam, politik dan sains.
“Remaja dan ibu-ibu menjadi pengguna internet yang rentan menjadi korban hoax,” tutur Yekthi Hesthi Murti, tentor tersertifikasi Google Indonesia dalam workshop ”Hoax Busting and Digital Hygiene” di Gedung Magister Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro, Semarang, Jumat (23/3/2018).
Yekthi Hesthi Murti, mengemukakan, langkah awal mencegah penyebaran hoax, yaitu dengan memahami misinformasi dan disinformasi. ‘’Misinformasi adalah ketidaktahuan seseorang terhadap informasi, kemudian menyebarkannya,’’ ujarnya dalam workshop kerja sama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dengan Google News Lab Indonesia itu.
Dia menyebutkan, ada tujuh jenis misdisinformasi. Antara lain untuk tujuan satire (parodi), memelintir berita, konten aspal (asli tapi palsu), konten pabrikasi (tidak ada fakta), tidak nyambung, konteksnya salah, dan konten yang manipulatif.
‘’Ada juga tujuh alasan di balik penyebaran dismisinformasi, yaitu, jurnalisme yang lemah, buat lucu-lucuan, sengaja membuat provokasi, partisanship, cari uang (clickbait-iklan), gerakan politik serta propaganda. Mirisnya, banyak sekali orang yang menerima keuntungan dari penderitaan orang lain sebab hoax,” ungkapnya.
Syifaul Arifin, menyampaikan beberapa tips untuk melawan hoax. Di antaranya jangan langsung percaya dan share, melainkan mengecek alamat situs sumber berita. “Kalau masih ragu, bisa cek situs di Who.is atau DomainBigdata di mesin pencarian,” paparnya.
Selain itu, bisa mengecek situs dengan memahami desain portal berita dan iklan yang terdapat dalam portal tersebut, lalu memahami ciri-ciri pakem media sesuai etik jurnalistik, dan pembaca dianjurkan untuk mengecek “About Us”-nya. “Biasanya di situ memuat pedoman media cyber, kalau tidak ada berarti abal-abal,” katanya.
Selanjutnya, pembaca disarankan untuk hati-hati dengan judul yang sensasional dan membandingkan berita yang didapat di media mainstream. “Sekali lagi, caranya adalah tidak mudah percaya, dan skeptis dengan sumber berita mana pun,” tegasnya. (rid/ ros)