Selain menjadi satu dari lima rukun Islam, Ramadan oleh umat Islam diyakini sebagai bulan yang sangat Istimewa di seluruh dunia.
Selama sebulan, pada Ramadan, umat Islam menjalankan puasa. Menahan diri dari makan, minum dan semua yang membatalkannya, mulai dari dari imsak hingga Maghrib (saat waktu berbuka).
Puasa Ramadan juga merupakan ibadah, sebagai bentuk pengabdian kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dan dalam bulan suci tersebut, umat Islam, selain melaksanakan puasa (wajib), juga memperbanyak ibadah sunah seperti tadarus, tarawih, bersedekah dan berbuat baik kepada orang tua, khusunya kepada iIbu, ibu dan ibu.
Seorang ibu adalah sosok yang sangat penting dalam segala kesempatan. Dan sosoknya menjadi sangat begitu terasa, saat Ramadan.
Peran penting itu antara lain dalam menciptakan suasana Ramadan yang aman, tenteram dan damai, sekaligus ‘alarm’ untuk membangunkan kami sahur, dan tempat curahan hati di kala galau.
Namun Ramadan kali terasa berbeda dan terasa sepi. Ini adalah Ramadan pertamaku tanpa ibu di sisi; di tanah rantau.
Di tanah rantau, rinduku terpendam. Aku rindu dengan suara ibu. Rindu peluk dan kasih sayangnya.
Ramadan ini, saya merasa sepi, bahkan seakan tak bisa membayangkan menjalani hari-hari puasa Ramadan tanpa ibu di sisi.
Sebab, sejak kecil saya terbiasa berpuasa bersama anggota keluarga yang lengkap. Kami selalu rindu masakan ibu. Rindu suara ibu saat membangunkan kami untuk sahur.
Ya, dan semua itu, kini menjadi kenangan indah bagi saya dan keluarga, karena ibu telah pergi meninggalkan kami untuk selama-lamanya sejak 14 Juni 2023 lalu.
Tahun ini, juga pengalaman saya pertama kali puasa di tanah Rantau dan jauh dari keluarga. Dari Kaimana, Papua Barat, saya menjejakkan kaki di Kabupaten Kudus. Demi semuah harapan, bisa merubah masa depan yang lebih baik, dengan berbekal ilmu yang saya pelajari di Kota Wali ini.
Bersama teman-teman dari berbagai daerah, di Pondok Prisma Quranuna sembari menimba ilmu di IAIN Kudus, kami membulatkan tekad, menski jauh dari orang tua, dari sanak saudara, menata niat untuk rihlah ilmiah dan belajar hidup lebih mandiri dari sebelumnya.
Kemandirian mesti dibangun, sebagai upaya menempa agar menjadi pribadi yang kuat. Dalam Ramadan ini, Bersama teman-teman di pondok, itu mulai kami biasakan, mulai dari sahur hingga berbuka puasa, harus menyiapkan sendiri.
Ahai, ternyata, dalam kondisi jauh dari keluarga seperti ini, ternyata juga bisa membuat hubungan lebih dekat. Sebelum sahur dan berbuka, biasanya saya menelfon keluarga saya di Papua.
“Jadilah orang yang mudah bersyukur di manapun kamu berada, juga di tanah Rantau,” bagitu nasihat orang tuaku yang senantiasa ku ingat.
Itu adalah sebuah pesan penting, karena faktanya memang banyak orang mengaku bersyukur, padahal sebenarnya suka mengeluh.
Akhirnya, momentum Ramadan di tanah rantau yang jauh dari keluarga ini, telah menempaku, juga teman-temanku, menjadi anak-anak yang mengerti pentingnya mandiri dan selalu bersyukur atas kurnia Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. (*)
Rahmatia Inse Obay,
Santriyah Pondok Prisma Quranuna Kudus asal Kaimana Papua Barat dan Mahasiswa Program Studi (Prodi) Bimbingan Konseling Pendidikan Islam (BKPI) IAIN Kudus.