Oleh: M Basuni Baihaqi
Siapa tak kenal syi’ir ”Tombo Ati”? Syi’ir berbahasa Jawa, yang biasanya dilantunkan bersamaan dengan syi’ir Abu Nawas. Syi’ir ini sempat viral semenjak dinyanyikan Opik menggunakan Bahasa Indonesia.
Barangkali ada yang beranggapan, syi’ir itu diciptakan oleh salah seorang Walisongo. Padahal jauh sebelum Walisongo, “obat penawar hati” ini telah diutarakan oleh ulama abad ke-3 H, yaitu Syaikh Ibrahim bin Ahmad Al Khawwas.
Syaikh Ibrahim bin Ahmad Al Khawwas adalah ulama sufi dari Baghdad, guru sufi pada zamannya. Di antara ulama yang hidup pada masanya, yaitu Imam Junaid Al Baghdadi, satu ulama panutan ahlussunnah wal jamaah dalam bidang tasawuf. Imam Junaid adalah sahabat karib Syaikh Ibrahim Al Khawwas.
Syaikh Ibrahim bin Ahmad Al Khawwas sendiri dikenal sebagai seorang yang zuhud, wira’i, sangat tawakkal kepada Allah, dan suka berkelana. Bahkan ia sering melakukan perjalan ke Mekah dan Madinah, sekadar untuk menziarahi makam Rasulullah ﷺ.
Dalam kitab “Tarikhul Baghdad” karya Imam Abi Bakar Al Baghdadi, Al Khawwas memiliki arti daun pohon kurma. Daun pohon kurma itu berbentuk memanjang seperti daun kelapa. Mushannif mengisahkan, suatu saat Al Khawwas selalu keluar menuju sungai yang besar. Di sekitar sungai ditemukan banyak sekali pohon kurma, dan daunnya berjatuhan di sekitarnya. Setiap berada di tempat itu, ia memotong daun kurma dan membentuknya menjadi qifaf (seperti wadah), kemudian membiarkan mengalir bersama aliran sungai.
Setiap hari ia melakukan aktivitas itu. Hingga muncul pertanyaan, “di mana qifaf ini berhenti”? Maka ia pun berjalan mengikuti arus air sungai. Saat dalam pencarian, ia menemukan seorang perempuan yang sedang duduk di pinggir sungai sambil menangis.
Syaikh Ibrahim Al Khawwas bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
“Ketahuilah, aku adalah seorang janda yang fakir. Di rumahku terdapat lima anakku yang yatim. Suatu hari aku duduk di sini, dan memenemukan qifaf. Aku mengambil, lalu menjualnya. Dari hasil itu, aku dapat menafkahi anak-anakku. Aku kembali ke tempat ini pada waktu yang sama, dan melakukan hal yang sama. Namun hari ini, aku menunggu dan tak ada qifaf yang terbawa arus. Aku pun belum mendapatkan nafkah untuk memberi makan anak-anakku,” jawab perempuan itu.
Mendengar penuturan perempuan itu, Syaikh Ibrahim Al Khawwas kemudian mengangkat kedua tangannya ke langit. “Wahai Tuhanku, andaikan aku tahu bahwa ini yang terjadi, aku akan membuat qifaf lebih banyak lagi.”
Syaikh Ibrahim Al Khawwas lalu menenangkan perempuan itu, dan mengatakan, bahwa dialah di balik itu semua. Ia lalu menuju tempat tinggal si perempuan. Di sana, ia menemukan apa yang perempuan itu sampaikan. Mulai saat itu, Syaikh Ibrahim Al Khawwas menanggung semua nafkah keluarga faqir tersebut.
Miliki Banyak Karamah
Syaikh Ibrahim Al Khawwas adalah waliyyullah yang memiliki banyak karamah. Antara lain ia pernah merasakan haus yang sangat. Tak lama saat menahan haus, datang penunggang kuda yang gagah. Ia memakai jubah hijau, bersorban kuning. Tangan kanannya menggenggam wadah berisi air, yang kemudian menyuruh Syaikh Ibrahim Al Khawwas meminumnya.
Saat merasa cukup dengan minuman itu, sang laki-laki meminta Syaikh Ibrahim Al Khawwas naik ke atas kuda. Ia menuruti perintahnya. Di perjalanan, tak ada percakapan sedikit pun. Hingga laki-laki itu bertanya: “Apa yang kamu lihat sekarang?”
“Kota Madinah,” jawab Syaikh Ibrahim.
“Turunlah! Ucapkanlah salam pada Rasulullah ﷺ. Dan sampaikan, bahwa Ridlwan telah mengucapkan salam untuknya,” pinta laki-laki penunggang kuda itu yang ternyata adalah Malikat Ridlwan.
Konon, Syaikh Ibrahim Al Khawwas juga pernah didatangi Nabi Khidlr. Saat itu Nabi Khidir ingin berteman dengannya. Namun ia takut merusak kepercayaan Nabi Khidir. Maksudnya takut, jika kebersamaannya bersama Nabi Khidir, membuat Nabi Khidir tahu akan keburukannya, sehingga keburukan itu dapat merusak kepercayaannya.
Selain karamah, Syaikh Ibrahim Al Khawwas juga memiliki banyak kalam hikmah yang diutarakan. Di antaranya adalah lima obat hati atau dawa’ul qalb (Jawa: tombo ati).
Disebutkan dalam “Hilyatul Auliya” karya Abi Nu’aim Al Ashfihani, bahwa Syaikh Ibrahim Al Khawwas berkata:
دواء القلب خمسة أشياء، قراءة القرآن بالتدبر وخلاء البطن وقيام الليل والتضرع عند السحور ومجالسة الصالحين
Artinya: “Obat pelara hati ada lima: membaca al-Quran dengan berangann-angan artinya, mengosongkan perut (puasa), salat malam, bermunajat (berzikir dan berdoa) di waktu sahur, berkumpul dengan orang-orang saleh.“
Mutiara hikmah lain, yaitu:
مَنْ لَمْ يَصْبِرْ لَمْ يَظْفَرْ
Artinya: “Siapa yang tidak bersabar, maka ia tidak akan mendapatkan (cita-cita atau keinginannya).“
Kemudian:
مَنْ لَمْ تَبْكِ الدُّنْيَا عَلَيْهِ لَمْ تَضْحَكِ الْآخِرَةُ إِلَيْهِ.
Artinya: “Siapa yang tidak pernah sengsara di dunia, ia tidak akan bahagia di akhirat.“
Lalu mutiara hikmah di bawah ini:
لَيْسَ الْعِلْمُ بِكَثْرَةِ الرِّوَايَةِ إِنَّمَا الْعِلْمُ لِمَنِ اتَّبَعَ الْعِلْمَ وَاسْتَعْمَلَهُ وَاقْتَدَى بِالسُّنَنِ وَإِنْ كَانَ قَلِيلَ الْعِلْمِ.
Artinya: “Ilmu itu bukan karena banyaknya riwayat, tetapi ilmu adalah milik orang yang mengikuti ilmu, kemudian menggunakannya dan mengikuti dengan sunnah-sunnah walaupun ilmu yang dimiliki sedikit.“
Selain itu, ada pula mutiara hikmat berikut:
التَّاجِرُ بِرَأْسِ مَالِ غَيْرِهِ مُفْلِسٌ
Artinya: “Pedagang yang berdagang dengan modal dari orang lain, maka ia adalah pedagang yang bangkrut.“
Ya, masih banyak lagi mutiara hikmah yang pernah disampaikan oleh Syaikh Ibrahim Al Khawwas, yang wafat pada 291 H di masjid jami’ Kota Ray.
Sebelum wafat, ia melakukan salat. Setelah mendapat dua rakaat, ia pergi ke kamar mandi. Setelah mandi, ia kembali melakukan salat dua rakaat. Setelah itu ia mandi lagi. Ia mengulanginya, hingga ia meninggal di kamar mandi dalam keadaan telah mandi. (*)
M Basuni Baihaqi,
Penulis adalah mahasiswa Universitas Imam Syafiie, Hadramaut, Yaman.