
Banyak yang sedih atas kepergianmu. Tetapi kami; kawan-kawan, sahabat dan saudara-saudaramu, yakin bahwa Allah sangat menyintaimu. Dan kau pun dipanggil menghadap-Nya, di usiamu yang masih sangat muda.
Beberapa hari lalu, 12 Januari, kau masih menyapaku lewat WhatsApp. Tetapi tak mengabarkan jika kau sedang dalam perawatan medis. Keesokan harinya, 13 Januari, baru kau video call, menyapaku. Kau begitu tegar. Masih bercanda. “Semangat, Lek,” katamu.
Tak lama, memang, video call itu. Namun itu cukup membahagiakan, karena aku masih bisa melihatmu tersenyum.
Namun pada 14 Januari, saat kuhubungi kau lewat WhatsApp, tak ada balasan. Bahkan tanda-tanda chat WhatsApp dibaca pun, tidak ada tanda-tanda. Sabtu (16/1), kucoba chat lagi dirimu sekira pukul 08.05 menit. Tanpa respons. Pukul 23.31, ku-chat lagi. Tak ada tanda-tanda juga respons darimu.
Tak hanya aku yang cemas, setelah mengetahui kamu sedang dalam perawatan medis. Banyak kawan-kawan lain merasakan hal serupa, setelah mengetahui kondisi kesehatanmu yang menurun. Amin Fauzi, berkali-kali menanyakan perkembangan kesehatanmu.
Dan kabar yang mengejutkan itu, datang. Kamu dipanggil Yang Maha Kuasa pada Ahad (17/1) dini hari, pukul 00.30-an. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Kamu kawan yang baik. Pejuang hidup dan penuntut ilmu yang sangat dahsyat. Kamu pergi, bahkan pada detik-detik di tengah merampungkan disertasi untuk studi doktoralmu (S3) di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.
Selamat jalan, Lek Farih Lidinnillah. Kami semua mendoakanmu. Surga menjadi tempat terindah atas jerih payah, perjuangan dan dedikasimu dalam menuntut ilmu. Husnul khatimah, kawan. Kami bahagia pernah mengenalmu. (Rosidi)