
Oleh: M FaridM
Memasuki awal Ramadan anak-anak “dikembalikan” kepada orang tuanya masing-masing. Istilah dikembalikan tentu tidak berlebihan karena faktanya memang demikian.
Para santri misalnya, yang semula mereka tinggal di pesantren, setiap kali akhir Sya’ban pasti ada rombongan travel ataupun bus bertuliskan pemulangan. Baik yang sifatnya massal dengan bus maupun dijemput oleh keluarganya dengan kendaraan pribadi.
Tidak hanya itu, bagi siswa-siswi yang bersekolah formal pun demikian. Setiap kali
Ramadan, jam kegiatan belajar menjadi kurang efektif. Biasanya lebih banyak berisikan kegiatan keagamaan ataupun pembelajaran yang sifatnya ringan.
Bagi yang masih berusia dini dan anak-anak, mereka akan dikasih buku catatan amal. Bukan maksud menyaingi malaikat Raqib dan Atid, melainkan hanya jurnal kegiatan harian selama Ramadan.
Buku catatan itu adalah simbol dikembalikannya fitrah pendidikan kepada orang tua dan lingkungannya masing-masing. Bagaimana tidak, jika sebelumnya jurnal itu dipegang oleh guru dan tenaga kependidikan, selama bulan Ramadan, tanggungjawab penilaian sepenuhnya diserahkan kepada orang tua dan lingkungan.
Memang ada sebagian kecil orang yang memanipulasi dengan mengisinya sendiri. Namun, tentu saja itu bukan tanpa konsekuensi. Karena sejatinya pengisian jurnal itu bukan pada penuh tidaknya kertas namun pada perilaku kenyataannya.
Inilah mengapa di awal saya menyebut Ramadan sebagai titik balik pendidikan. Sebagaimana disebutkan dalam hadis.
Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah), Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi ataupun Nasrani, (HR. Bukhari dan Muslim)
Jika diperluas maknanya, orang tua memiliki tanggungjawab mendidik mental dan kebiasaan anak-anaknya. Termasuk dalam mengisi jurnal kegiatan Ramadan itu sendiri.
Yang semula orang tua itu cukup tahu karakter anaknya dari rapor ataupun portofolio dari pihak sekolah ataupun ponpes. Saat Ramadan tiba mereka sendiri lah yang mengisinya berdasarkan keseharian anaknya.
Di tangan orang tua yang baik, jurnal itu akan menjadi pemandu baginya dalam membentuk karakter religius anaknya. Sebaliknya, ditangan orang tua yang tidak peduli, jurnal itu akan menjadi alat pertama untuk menyuburkan mental manipulatif dan ketidakjujuran.
Dalam hadits yang lain, Rasulullah menyebutkan bahwa hadiah terbaik para orang tua adalah pendidikan akhlak atau tata krama. Dan seseorang yang mendidik anaknyaitu lebih baik daripada ia bersedekah satu sha’ setiap harinya (HR. Tirmidzi dan Al-Hakim).
Oleh sebab itu, marilah kita gunakan Ramadan sebagai titik balik untuk mendidik anak-anak dengan baik dan jujur. Kita tentu sudah familiar dengan ungkapan buat apa pandai kalau tak jujur. Orang pandai yang tidak jujur hanya akan membahayakan masa depan suatu bangsa dan negara. (*)
M Farid,
Penulis adalah jurnalis Suaranahdliyin.com dan pegiat Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW).