Oleh: Dr KH Muchotob Hamzah MM
Menyandingkan antara Nabi dan jurnalis (wartawan), tentu tidak level. Nabi bersifat maksum, sementara jurnalis adalah manusia biasa. Nabi membawa kebenaran absolut, sementara jurnalis membawa kebenaran relatif, bahkan bisa jadi hoaks.
Dulu, di Uni Sovyet, ada surat kabar bernama Pravda = kebenaran, tetapi isinya didominasi oleh propaganda komunis yang provokatif dan hoaks.
Kendati begitu, ada persamaan mendasar antara keduanya. Nabi (Naba’: berita, khabar). Nabi adalah agen khabar (berita) tentang agama Allah, yang akan membawa keselamatan bagi manusia, baik di dunia maupun akhirat.
Al-Quran sebagai berita yang datang dari Allah, membawa kebenaran (QS. 17 : 105). Ia sebagai kata pasti = innahuu laqaulun fashl (QS. 86 : 13) dan bukan main-main = wa maa huwa bil-hazl (QS. 86: 14).
Kebenaran al-Quran telah dikaji oleh segala lapis kecendekiawanan. Dari para ulama, filosof, saintis, teknolog, dan lainnya. Al-Quran transparan dan terbuka, bahkan “menantang” untuk diperdebatkan.
قل هاتوا برهانكم ان كنتم صادقين. Artinya: Katakanlah Muhammad! Bawalah argumentasi kalian, kalau kalian orang-orang yang benar (QS. 2: 111).
Banyak orientalis, yang kemudian berusaha membantai al-Quran, seperti tulisan Ignaz Golzhiher, DS. Margalioth, dan sebagainya. Namun al-Quran semakin bercahaya.
Sedang jurnalis, seperti apa yang dirumuskan oleh Thaddeus Delane (1817-1879), tugasnya adalah mendapatkan khabar (informasi) tentang pengetahuan yang supercepat dan benar, serta secara langsung menyajikannya kepada publik, supaya menjadi milik mereka bersama.
Benang merah yang bisa ditarik di sini, yaitu tentang kebenaran untuk semua. Itulah misi awal didirikannya pers. Di situ ada titik persamaan dengan Nabi. Nabi menjadi agen berita tentang kebenaran dari alam ghaib yang telah, sedang dan akan terjadi. Dan, berita itu menuntun visi yang visionaire sekaligus visible, yaitu visi membawa keselamatan manusia di dunia dan akhirat.
Jurnalis secara genuine juga memiliki misi, agar masyarakat luas secara cepat dan akurat, memiliki khabar yang benar atas setiap peristiwa yang terjadi, agar bisa menentukan sikap dalam menghadapi peristiwa itu. Tetapi ketika media (pers) menarik hati para pengusaha, terjadilah apa yang disebut dengan komersialisasi berita.
Setelah media seperti The Wall Street Journal, The New York Post dibeli oleh Rupert Murdoch asal Australia, dunia pemberitaan mengalami perubahan total. Orientasi profit menjadi panduan utama. Misi pencerdasan, advokasi pada kebenaran dan orang terzalimi, semakin ditinggalkan. Fokusnya menjadi rating and share. Saring sebelum sharing diabaikan. Publish and be damned tidak menjadi beban. Yang penting publish, setelah itu masa bodoh.
Di tengah kehebohan berita yang tayang, muncullah berita tentang jurnalis yang ditembak mati. Dia adalah Marshal Harahap. Dan pembunuhan jurnalis di indonesia, bukan baru kali ini. Nasib jurnalis yang menyuarakan berita hak, bukan hoaks, sering di-bully banyak orang yang terancam posisinya.
Meskipun tidak selevel, jurnalis yang bersih, nasibnya mirip yang menimpa Nabi. Nabi bersabda:اشد الناس بلاء في الدنيا نبي او صفي. Artinya: Orang yang paling berat cobaannya di dunia adalah para Nabi atau orang bersih. (Bukhari dalam Tarikh, dihasankan oleh As-Suyuthi, Al-Jami’, 1055, dan disahihkan Albani SJS, 1/33).
Sampai kini, kita belum tahu apa salah Marshal. Tetapi kalau toh ada hoaksnya, sesuai Undang-Undang (UU) No 40/1999. Ps. 8, khan, ada hak jawab. Apa memang bangsa yang terkenal ramah ini, kini sudah mulai kejangkitan sindrom haus darah? Wallaahu a’lam bi al-shawab. (*)
Dr KH Muchotob Hamzah MM,
Penulis adalah Rektor Universitas Sains Al-Qur’an (Unsiq) Jawa Tengah di Wonosobo.