Tiga Cendekiawan Muslim Bicara Psikoterapi Islam

0
5866

Oleh: Irsyad Roqiyul Azmi

Inovasi pemikiran para cendikiawan Islam perlu diakui sebagai sebuah sumbangsih dalam ranah keilmuan. Tapi kenyataan malah disingkirkan dan semacam ada mengaburan sejarah penemuan tersebut. Seperi halnya Ar-Razi yang layak di nobatkan sebagai bapak konseling dan psikoterapi dunia, Ibnu Sina sebagai Penemu frenologi kajian psikoneurolinguistik dan Abu Zaid sebagai psikoterapis kesehatan mental.

Semuanya seakan terbuang begitu saja dan umat muslim tidak bisa berbuat apapun. Maka perlu adanya sebuah penelusuran mendalam dan kajian serius tentang invonasi pemikiran para cendikiawan muslim diberbagai bidang.

Berikut hasil ijtihad para cendemiawan Muslim dalam bidang psikologi, yang selanjutnya bisa dikaji lebih lanjut untuk menjadi pertimbangan atas kelayakaan dan pengakuan ilmiah di mata dunia.

A. Abu Zaid (Pencetus Psikologi Medis)

Nama lengkap dari Abu Zaid adalah Abu Zaid ibn Sahl al-Balkhi (850 – 934 Hijriah), seorang dokter, matematikawan, serta ahli di bidang geografi, neurosains dan psikologi. Ia lahir di Shamistiyan, Balkh, Khurasan (kini masuk Afganistan bagian utara). Abu Zaid tumbuh di Baghdad selama delapan tahun, dan belajar antara lain kepada Al-kindi, ilmuwan berkebangsaan Arab yang disebut sebagai Bapak Filsuf Islam.

Banyak karya dan pengakuan tokoh tentang kealiman Abu Zaid. Para ilmuan Barat percaya bahwa Abu Zaid layak disebut sebagai neurosis, psikologi kognitif, psikoterapis, psikofiologi, serta psikomatik.

Ini disebabkan sebelum kehadirannya, belum ada satu ilmuwan pun yang secara khusus mengadakan penelitian mendalam tentang tema-tema tersebut. Ia memperkenalkan reciprocal inhibition, sebuah konsep yang seribu tahun kemudian dikembangkan psikolog Jeseph Wolpe (1967 M). Karya monumenal Abu Zaid di bidang psikologi adalah Masalih al-Ahdan wa al-Anfus (Rezeki Tubuh dan Jiwa).

Pemikiran Abu Zaid adalah: Pertama, tentang kesehatan dan penyakit mental. Abu Zaid merupakan pencetus konsep kesehatan mental dan penyakit mental. Dalam Masalih al-Ahdan wa al-Anfus karyanya, Abu Zaid memelopori studi tentang penyakit yang berhubungan dengan tubuh dan jiwa.

Hamdani (2004), menjelaskan, Abu Zaid menggunakan istilah tibb al-ruhani untuk menjelaskan kesehatan psikologis dan tibb al-qalb dalam menggambarkan pengobatan penyakit mental.

Dalam pandangannya, manusia terdiri dari tubuh dan jiwa. Jika tubuh sakit, jiwa akan kehilangan banyak kemampuan kognitif dan komprehensif, sehingga gagal menikmati aspek keinginan hidup. Sebaliknya, apabila jiwa sakit, tubuh tidak dapat menemukan suka cita dalam hidup, dan berkembang menjadi penyakit fisik.

Kedua, Abu Zaid merupakan pencetus psikologi medis dan terapi kognitif. Abu Zaid juga merupakan tokoh pelopor perbedaan antara neuroris (penyakit saraf) dan psikosis (penyakit mental). Juga tokoh pertama yang mengklasifikasikan gangguan neorotik dan merintis terapi kognitif, untuk mengklasifikasikan setiap gangguan tersebut.

Abu Zaid mengklasifikasikan gangguan neorosis emosional menjadi empat, yakni ketakutan dan kecemasan, amarah dan agresi (penyerangan), kesedihan dan depresi, serta obsesi atau gangguan pikiran.

Inti dari pemikiran Abu zaid adalah, setiap indivu yang sehat harus menjaga pikiran dan perasaannya. Perasaan dibangkitkan oleh pikiran. Jika dibiarkan, akan berpotensi pada kondisi neurosis dan depresi. Dengan pemikirannya itu, menurut Gunarsa (2000), Abu Zaid pun layak disebut sebagai pencetus psikologi kognitif (cognitif psychology) dan psikologi medis (medical psychology).

Ketiga, tokoh Psikofisiologi dan pengobatan Psikosomatik. Abu Zaid berpendapat, tubuh dan jiwa bisa sehat secara seimbang. Penyakit mental dapat menjadi penyabab baik tubuh (fisiologis) maupun jiwa (psikologis), sehingga pembahasan fisiologis berkait erat dengan psikologi (psikofisiologis).

Gunarsa menambahkan, bahwa bagi Abu Zaid, terkait masalah pengobatan psikosomatik, penyakit mental tidak bisa sertamerta diobati sekadar dengan terapi jiwa, tetapi juga dengan pengobatan fisik. Bahkan ganggguan psikosomatik dapat disebabkan oleh interaksi antara gangguan fisik dan mental.

B. Ibnu Sina (Penemu Frenologi)

Ibnu Sina terlahir dari kalangan keluarga berpendidikan. Ia lahir pada tahun 980 Hijriah di Afsana, sebuah di desa dekat Bukhoro (sekarang Uzbekistan), pada masa dinasti Persia di Asia Tengah. Ibunya bernama Setareh dari Bukhoro. Ayahnya bernama Abdullah, seorang Sarjana dari Balkh (Afganistan).

Banyak karya yang dihasilkan Ibnu Sina, yang diakui cendekiawan dunia. Ibnu Sina dikenal di Barat dengan ‘’Avicenna’’. Ia adalah seorang polymath yang mengusai banyak ilmu, mulai dari filsafat, kedokteran, astronomi, kimia, geografi, teologi, fikih, logika, matematika, fisika, hingga psikologi.

Lebih dari 450 karya menomental yang ditulisnya. Salah satunya yang dikenal dunia adalah al-Qanun fi al-Thib (The Canon of Medicine), yang menjadi rujukan seluruh perguruan tinggi di dunia.

Berbagai pemikiran Ibnu Sina, antara lain: Pertama, tentang kecemasan pada kematian. Ibnu Sina, menyatakan, kecemasan pada kematian merupakan inti universal dari semua penyakit mental, seperti depresi, fobia, dan kesedihan.

Dikemukakan olehnya, penyebab kognitif seseorang merasa takut adalah lantaran ketidaktahuan tentang rasanya kematian, ketidakpastian kejadian setelah kematian, dan berpikir bahwa jiwa akan lenyap setelah kematian.

Naisaiban (2005), mengemukakan, ide Ibnu Sina tentang itu mirip dengan teori kognitif behavioristik, yang memandang patologi kecemasan (ketakutan) sebagai rendahnya pemahaman akan gangguan, dan kurangnya kemampuan berpikir

Kedua, relasi pikiran dengan tubuh. Ibnu melakukan klasifikasi keterkaitan antara pikiran dan tubuh menjadi beberapa bagian. Yakni pikiran manusia seperti cermin. Pikiran memiliki kemampuan untuk mencerminkan pengetahuan, karena setiap manusia menggunakan kecerdasan aktifnya. Dengan banyak berpikir, cermin manusia akan semakin halus dan cermelang, sehingga dapat mengarahkan menuju akuisisi pengetahuan yang benar.

Selanjutnya, pikiran mengendalikan tubuh secara hierarkis. Emosi yang kuat menyebabkan self fulfilling (pemenuhan diri). Dalam kacamata Graham, Ibnu Sina diyakini pribadi yang kuat untuk mempengaruhi orang lain melalui hipnosis (al-wahm al-amil).

Terkait teori persepsi internal, Ibnu Sina membagi persepsi manusia menjadi lima bagian, yakni senus communis (integrasi data-data persepsi); fakultas imajinatif (melestarikan gambaran persepsi); rasa imajinasi yang menghasilkan kecerdasan praktis; naluri moral untuk menilai orang; dan melestarikan semua gagasan seseorang.

Keempat, mengenai Teori Melankolia-Mania. Ibnu Sina berbicara tentang gangguan psikologis pada masalah melankolia yang menjadi mania. Perubahan tersebut terjadi, disebabkan kelembaban pada otak. Hasil pernafasan merembes ke otak, sehingga menjadi lembab. Dengan pemikirannya ini, Ibnu Sina pun ditahbiskan sebagai pencentus teori frenologi (ilmu yang membahas gangguan mental dari rembesan otak).

C. Ar-Razi (Perihal Mekanisme Perubahan Diri)

Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria Ar-Razi (Al-Razi), yang di Barat dikenal dengan Rhazes, adalah salah satu cendekiawan Muslim brilian yang telah memberikan sumbangan pemikiran dan penemuan berharga bagi ilmu pemgetahuan.

Lahir pada 251 H/ 865 M di Rayy, Teheran, Iran dan wafat pada 313 H/ 925 M dalam usia 62 tahun. Banyak karyanya yang bisa ditemukan hingga saat ini, khususnya dalam bidang kedokteran dan filsaat.

Abu Raihan al-Biruni dalam “Indeks Buku-buku Ar-Razi’’, mencatat, cendekiawan Muslim itu melahirkan 184 karya, yang terdiri atas 56 karya bidang kedokteran, 32 karya bidang fisika, 21 karya bidang kimia, 12 karya bidang filsafat, 7 karya bidang logika, 6 karya bidang biologi, 7 karya bidang tafsir dan 12 esai ketemporer lainnya.

Dari hampir 200 karya yang telah dihasilkannya, salah satu yang monumental dan menjadi rujukan cendekiawan dunia, adalah Kitab At-Tibbur Ruhani lil Abi Bakr Ar-Razi yang mengkaji soal psikologi.

Pemikiran – pemikiran Ar-Razi adalah: Pertama, tentang al-nafs al-kulliyah (jiwa universal) dan pembagian jiwa secara parsial (al-nafs an-natiqah, al-nafs al-ghadabiyyah dan al-nafs an-nabatiyyah).

Penulis saat menjadi narasumber dalam sebuah training di Surabaya.

Pemikiran yang mirip dengan apa yang telah dikemukakan Ar-Razi disampaikan Carls Rogers (1902-1087) tentang teori konseling dan psikoterapinya, yakni organisme, medan phenomenal dan self.

Selisih kehidupan antara Ar-razi dan Carls Rogers 1.050 lebih dulu dibanding dengan Rogers. Dengan demikian, Ar-Razi bisa disebut Konselor Psikoterapis pertama di Dunia.

Al-nafs al-kulliyah (jiwa universal) yang dikemukakan Ar-Razi, memiliki kecenderungan untuk mengaktulisasikan diri. Sedang Carls Rogers, dikutip Sarah (2011), mengemukakan, motivasi dan rasa beraktuliasasi adalah proses yang bersamaan dan saling terkait. Keduanya ‘’memiliki kesamaan’’ terkait masalah aktulisasi diri.

Kedua, tentang teknik konseling. Teknik konseling psikoterapi yang dikemukakan Ar-Razi adalah tentang eksplorasi diri (ta’riful rajuli ‘uyuba nafsihi) atau mengungkapan masalah; iqna’ bi al-hajaj wa al-barihin atau nasihat secara global; qom’il hawa’ wa mukhalafah ath-thiba’ (penerimaan kenyataan); dan ta’zim al-aql li ma’rifat (pengembalian kepada Allah). (*)

Irsyad Roqiyul Azmi,

Penulis menempuh studi S1 dalam Kajian Bimbingan dan Konseling Islam di UIN Sunan Ampel Surabaya. Studi S2 juga dirampungkan di universitas yang sama. Kini, ia menjadi staf akademik pada Ma’had Aly Tasywiquth Thullab Salafiyah (TBS) Kudus dan aktif menjadi menjadi trainer motivasi di Growing Hypno-motivation.

Comments