
JAKARTA, Suaranahdliyin.com – Menjelang berakhinya tahun 2020 dan memasuki awal tahun 2021, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menggelar refleksi akhir tahun dan tausiyah kebangsaan menyongsong tahun 2021, Selasa (29/12/2020) kemarin.
PBNU mengepresiasi semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah, yang selalu setia menjaga dan merawat keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sebagai mu’âhadah wathaniyyah (konsensus nasional)berdasarkan Pancasila, yang merupakan pengikat (kalimatun sawa’) seluruh komponen bangsa yang Bhineka Tunggal Ika.
Dalam siaran pers yang ditandatangani Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj MA. (ketua umum PBNU) dan Dr. Ir. H.A Helmy Faishal Zaini (Sekjen PBNU), dikatakan, bahwa sebagai negeri demokrasi dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia, bangsa Indonesia harus terus bersatu padu di tengah konstelasi dunia yang semakindinamis, dengan terus berupaya mengencangkan ikatan tali persaudaran sesama umat Islam (ukhuwwah Islâmiyyah), sesama warga bangsa (ukhuwwah wathaniyyah), dan sesama warga dunia sebagai sesama manusia (ukhuwwah insâniyyah).
‘’PBNU mengingatkan seluruh elemen bangsa untuk secara terus menerus merefleksikan kesepakatan-kesepakatan dasar bangsa Indonesia yang mencakup Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika.Sekaitan itu, segala upaya mengisi pembangunan harus dilandasi dan dijiwai, serta guna memperkuat konsensus nasional,’’ kata Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj.
Tentang Politik Kebangsaan
Pada 2020 ini, kita masih menyaksikan intoleransi yang masih merebak, bahkan cenderung meningkat. Semua pihak mesti kembali kepada jati diri bangsa yang menghargai kemajemukan, pluralitas serta heterogenitas, yang dirumuskan dalam sebuah konsensus agung bernama Pancasila yang dibangun di atas bingkai Bhineka Tunggal Ika.
“Perbedaan harus menjadi energi untuk memproduksi kekuatan kolektif sebagai sebuah bangsa, bukan dijadikan sebagai benih untuk menumbuhkan perpecahan.Kebinekaan harus menjadi kekuatan bangsa. Kebinekaan tidak boleh menjadi anasir destruktif yang memberi konstribusi bagi rusaknya persatuan dan kesatuan bangsa,” tegas Kiai Said.
Pihaknya juga mengingatkan, bahwa demokrasi sebagai sistem untuk mewujudkan kesejahteraan publik, berpotensi dibajak oleh gerakan apapaun, baik oleh gerakan fundamentalisme agama dan ideologi maupun fundamentalisme pasar.
“Kebebasan sebagai bagian watak demokrasi, telah memberi panggung kepada kelompok radikal mengekspresikan pikiran dan gerakannya yang berpotensi merongrong NKRI melalui berbagai provokasi, permusuhan dan juga terorisme,’’ lanjutnya menambahkan.
Kiai Said dan jajaran pengurus PBNU menilai, perlu adanya upaya yang lebih ekstensif dan intensif, dalam membangun narasi-narasi positif dalam wujud konten yang kreatif, sehingga penyebaran berita bohong, fitnah, polarisasi, dan radikalisme yang selama ini teresonansi gerakannya melalui media sosial, bisa diatasi dengan baik.
Keadilan Sosial
PBNU masih melihat, orientasi dalam pembangunan ekonomi belum dijalankan dalam bingkai untuk memajukan kesejahteraan umum, dan menciptakan kemakmuran bagi sebesar-besar rakyat Indonesia. Watak pembanguan ekonomi masih eksklusif dan cenderung tidak ada moderasi dalam bidang ekonomi. Sektor ekonomi dalam skala nasional, masih dinikmati oleh beberapa orang dalam jumlah yang sangat sedikit.
Data Survei Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan [TNP2K] tahun 2019, menunjukkan, bahwa 1% orang di Indonesia menguasai 50 % aset nasional, terdapat konglomerat di Indonesia yang menguasai 5,5 juta hektare tanah. Bahkan, merujuk data yang dirilis OXFAM, kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia, setara dengan harta 100 juta orang miskin.
Sedang merujuk pada berita resmi statistik Juli 2020, tingkat Gini Ratio Indonesia berada pada angka 0,381. Angka ini meningkat 0,001 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio September 2019 sebesar 0,380 dan menurun 0,001 poin dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 sebesar 0,382. Salah satu faktor kenaikan ini dipengaruhi oleh wabah Covid-19, yang membuat pendapatan seluruh lapisan masyarakat mengalami penurunan
“PBNU melihat, ketimpangan yang terjadi disebabkan oleh tiga hal. Pertama, tradisi korupsi yang diwariskan pemerintahan Orde Baru hingga saat ini menjadi budaya. Kedua, pembangunan ekonomi masih berorentasi pertumbuhan, bukan pemerataan. Ketiga, adanya political capture yang kuat, di mana orang-orang kaya mampu memengaruhi kebijakan yang menguntungkan mereka,” jelas Kiai Said.
Maka PBNU mendorong agar akses keadilan terus ditingkatkan, terlebih akses keadilan ekonomi bagi mereka yang tidak memiliki kakuatan (powerless). Melalui peran konstitusionalnya, negara harus selaluhadir untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain tentang politik kebangsaan dan keadilan sosial, dalam refleksi akhir tahun dan tausiyah kebangsaan jelang tahun baru 2021 tersebut, juga disinggun isu lain, yakni tentang keadilan hukum dan penanggulangan wabah Covid – 19.
“Pada akhirnya PBNU berharap, tahun 2021 dan tahun-tahun selanjutnya, Pemerintah bisa melaksanakan program-program yang telah dirancang dengan sangat baik secara konsisten, terutama dalam rangka memangkas ketimpangan. Investasi yang digalakkan, tidak boleh memperlebar jurang ketimpangan. Moderasi dalam bidang ekonomi harus menjadi perhatian Pemerintah. Tidak hanya moderasi beragama, melainkan moderasi dalam ekonomi juga sangat penting,” tuturnya. (mail, rid, gie, luh/ adb, ros)