Sayid Muhammad Amin al-Huseini: Pahlawan, Pejuang Arab dan Nasionalis Palestina

0
3883

Oleh: Gus Muhammad Mujab

Menutur sejarah Palestina, tak lengkap tanpa menyebut nama Muhammad Amin al-Huseini. Ini karena lebih dari separoh abad hidupnya ia dedikasikan untuk membela kepentingan bangsa  Palestina, Arab dan Islam.

Masa Kecil dan Remaja 

Muhammad Amin lahir pada tahun 1897 M di Qalunia, dekat dengan Baitul Maqdis dari keluarga terpandang, keluarga Ahlulbait yang nasabnya bersambung kepada Rasulullah s.a.w melalui jalur imam Husein. Pada umur sembilan tahun ia telah hafal al-Qur’an. Kemudian ia mulai mempelajari ilmu pengetahuan agama dan sastra guna mempersiapkan diri sebelum masuk ke Universitas al-Azhar.

Pada saat Muhammad Amin berumur dua belas tahun (1909 M), negerinya sedang terjadi hiruk pikuk. Ia pergi untuk melihat sendiri sumber kegaduhan: Orang-Orang Yahudi yang berdatangan dari Eropa dan membeli tanah-tanah penduduk Palestina mulai menanami pohon-pohon yang mereka beri nama tokoh-tokoh zionis Yahudi, salah satu pohon tsb mereka namai Teodor Hertsel, tokoh utama gerakan Zionis.

Melihat kenyataan itu, Muhammad Amin kecil spontan tergugah hatinya. Maka pada saat malam harinya ia mengajak teman-teman sebayanya pergi ketempat tsb untuk mencabuti pohon-pohon yang ditanam oleh orang Yahudi. Sebagai bentuk perlawanan yang menjadi titik tolak dan awal mula Muhammad Amin terjun dalam medan juang membela bangsa Palestina.

Beranjak remaja Muhammad Amin melanjutkan studinya ke al-Azhar. Saat di Mesir inilah ia bertemu dan belajar kepada para ulama dan tokoh-tokoh pembaharu Islam. Ia banyak menyerap pemikiran Muhammad Abduh, Jamaludin al-Afghani dan lainnya yang kelak menjadikannya sebagai tokoh terdepan dalam pergerakan Pan-Islamisme, Pan-Arabisme dan Nasionalisme Palestina.

Pada masa-masa itu, majalah-majalah di Mesir sering menerbitkan liputan khusus tentang pandangan dan seruan tokoh-tokoh Pembaharu pergerakan Islam terkait kebangkitan Bangsa Arab dan umat Islam. Mereka menyerukan hak kemerdekaan negara-negara Arab. Bukan sebagai bentuk perlawanan terhadap Turki Utsmani, melainkan untuk memperoleh kemerdekaan bagi bangsa Arab sebagaimana kemerdekaan yang diperoleh bangsa Turki itu sendiri. Namun sayangnya, hiruk pikuk Perang Dunia pertama (PD 1) membuat seruan ini kurang di dengar.

Awal Karir Politik dan Pergerakan

Pada 1918, Muhammad Amin dinobatkan sebagai Presiden Liga Arab yang baru dibentuk (al-Nadi al-Arabi) yang mendukung persatuan negara Arab, khususnya penyatuan antara Palestina dan Suriah dan pencegahan imigrasi orang Yahudi ke Palestina.

Barangkali liga Arab ini dibentuk, adalah sebagai respon terhadap berakhirnya Perang Dunia pertama (PD 1), dengan kemenangan di pihak Inggris dan sekutu dan kekalahan Turki Utsmani.  Inggris yang mendapat jatah Yordania, Masoepotamia dan Palestina, telah menunjuk  putra syarif Husein untuk mengurus wilayah Yordania dan Irak. Sedangkan untuk Palestina, ini masih belum jelas. Karena sebelum Perang Dunia berakhir dan Palestina lepas dari Turki Usmani, Inggris telah melakukan deklarasi Balfour pada 1917 M, (Mengumumkan niat Inggris untuk mengizinkan dibentuknya tanah air kaum Yahudi di Palestina).

Dengan Liga Arab yang dibentuknya, al-Husaini menuntut kemerdekaan bagi negara Palestina dan menggelar demonstrasi besar-besaran pada musim dingin 1920. Pada hari Festival Nabi Musa, tanggal 4 April 1920, penduduk Arab Palestina melakukan kerusuhan di wilayah perkampungan Yahudi di Yerusalem yang mengakibatkan jatuhnya korban baik dari Yahudi maupun dari orang Islam. Inggris menuduh al-Husaini yang melakukan provokasi dan menjatuhinya hukuman 10 tahun. Al-Husaini yang mengetahui itu kemudian menyelamatkan diri ke Suriah.

Beberapa bulan di Suriah, Muhammad Amin manfaatkan untuk melakukan kerja khusus terkait tekadnya mendirikan negara Arab dengan letak geografis dari Tharus (Tartus, Suriah) sampai Rafah (di halus Gaza, Palestina). Ia menggugah kesadaran masyarakat untuk mewujudkan cita-cita berdirinya negara Arab tsb. Namun Perancis yang mendapat jatah Suriah tidak terima wilayahnya berkurang dan memberangus gerakan tsb.

Muhammad Amin kembali ke Palestina pada tahun itu juga، setelah tuntutan hukumannya dicabut oleh Inggris. Orang-Orang Yahudi merasa tidak terima dengan perlakuan yang menurut mereka tidak adil. Mereka menuntut agar ia dijatuhi hukuman sepuluh tahun itu. Tapi Muhammad Amin yang cerdas membantah. “Dahulu, di tanah ini pula, mereka (Yahudi) menuntut menjatuhkan hukuman kepada nabi Isa a.s!” Jawabannya memberi tamparan keras bagi orang Yahudi, mengingatkam atas dosa nenek moyang mereka. Sedangkan Inggris yang Kristen hanya bisa diam. Pembatalan itu sebenarnya beralasan hukum, karena ketika pengadilan militer telah selesai maka kedudukan nya digantikan pengadilan sipil. Dengan digantinya pengadilan militer, secara otomatis tuntutan hukum yang ditetapkannya pun gugur.

Menjadi Mufti Palestina

Ketika mufti Palestina Muhammad Kamil al-Husaini, saudara Muhammad Amin meninggal dunia pada tahun 1921, maka ia diangkat sebagai penerusnya. Secara otomatis jabatan barunya ini membuat ia memiliki otoritas keagamaan dan moral sehingga mendapat kewenangan dan pengaruh yang lebih luas. Ia manfaatkan kesempatan itu untuk menggalang dukungan politik menolak kehadiran orang-orang Yahudi di Palestina.

Para musuh yang tidak senang dengan Muhammad Amin, menuduh bahwa Mufti yang baru hanya sibuk dengan urusan politik, dan lupa terhadap tugas-tugas lembaga fatwa untuk mengurus kepentingan umat dan ilmu pengetahuan. Maka mereka menyebarkan opini melalui surat kabar, bahwa Muhammad Amin tidak mengurusi masalah-masalah fiqhiyyah dan fatwa keagamaan.

Tuduhan itu segera ia jawab dengan mengatakan, bahwa seorang ahli Agama harus mengerti hakekat masalah. Karena ia tidak hanya dituntut untuk memikirkan problem individu seseorang. Tapi ia juga dituntut untuk menjawab problem sosial kemasyarakatan secara menyeluruh. Termasuk menyelamatkan negara dan berusaha untuk mewujudkan kemerdekaan, sehingga umat Islam bisa hidup dengan merdeka.

Pada 9 Januari 1922, Muhammad Amin diangkat sebagai pemimpin Majlis al-Islami Al-A’la (Dewan Agung Islam, setingkat Kementrian Agama) yang bertugas mengontrol pengadilan Agama, menyetujui materi pendidikan untuk sekolah, madrasah dan pondok pesantren, mengawasi keuangaan keagamaan dan dana wakaf untuk merawat dan memperbaiki situs-situs kegamaan. Kontrol atas dana ini memperkuat kewenangannya di Palestina dan di negara Arab lainnya.

Muhammad Amin memulai tugas barunya dengan mendirikan Dar al-Aitam al-Islamiyyah al-Shinaiyyah (Pondok Pesantren Anak Yatim yang berbasis ilmu Islam dan ketrampilan) yang mengajarkan bukan hanya ilmu agama saja tapi juga ilmu perdagangan, teknik sipil dll. Pondok ini ia dirikan di daerah al-Quds dan Betlehem. Pertama hanya 100 santri yang masuk, baru pada tahun kedua ada lebih dari 2000 siswa yang mendaftar. Ia juga mendirikan sekolah setingkat SMA dan Perguruan tinggi, dengan mendirikan Universitas Raudlatul al-Maarif di daerah al-Quds dan Madrasah al-Najah di Nabulus.

Keberhasilan Muhammad Amin menjabat sebagai Mufti dan Pemimpin Dewan Agung Islam, juga tugas dan kerja-kerja memajukan Pendidikan umat Islam ini tidak lepas dari keberhasilannya meyakinkan pemerintah Mandat Inggris bahwa ia mau menjalin kerjasama dengan Inggris dan meyakinkan bahwa ia mampu menciptakan kedamaian di Palestina.

Meski ia beberapa kali dituduh menjadi dalang kerusuhan pada 1920 dan kerusuhan pada 1929 yang mengakibatkan lebih banyak korban, tapi tidak ada bukti kongkrit bahwa ia terlibat dalam peristiwa tersebut. Ia sebetulnya sudah mengingatkan penduduk Palestina bahwa tindak kekerasan dan keributan dengan pihak pemerintah Mandat Inggris hanya akan merugikan Palestina. Meskipun demikian ia tetap pada komitmennya, menolak kedatangan orang-orang Yahudi di Palestina dan tidak bisa menjamin keamanan bagi orang Yahudi.

Nasionalisme Palestina dan Revolusi Arab

Kedatangan orang-orang Yahudi ke Palestina yang semakin hari semakin bertambah  menimbulkan demo Anti-Yadudi besar-besaran dari warga Palestina. Mereka menolak kedatangan orang Yahudo dan menuntut  kemerdekaan bagi Palestina. Aksi Demo yang terjadi pada tahun 1929 ini berujung kerusuhan. Hal itu membuat Muhammad Amin berpikir keras. Ia kemudian mengambil langkah penting, yakni membawa masalah regional Palestina dari sebatas pembelaan terhadap tanah air  menjadi kepentingan dunia Islam secara umum.

Palestina tidak mungkin bisa merdeka jika hanya menjadi masalah regional. Ia membutuhkan dukungan dari semua negara-negara Islam. Oleh karenanya, pada 1930, Muhammad Amin mengadakan Muktamar Islam Dunia di Baitul Maqdis, dengan pesan utama “Persatuan negara-negara Arab dan Islam, Otonomi penuh warga Arab di Palestina dan Menolak imigrasi Yahudi ke Palestina”. Hadir dalam muktamar itu para utusan dari pemimpin negara Islam seluruh dunia. Ini adalah muktamar pertama Islam, yang mengumpulkan tokoh-tokoh Islam seluruh dunia; Palestina, Suriah, Lebanon, Irak, Yaman, Afrika Utara, Eropa, Balkan, Turki, Rusia dan dari seluruh Asia (Tengah, Timur dan Tenggara) termasuk Indonesia.

Para pejuang Palestina pada mulanya memberi masukan agar Muhammad Amin mengadakan Muktamar di Makah pada musim haji, tapi ia bersikukuh untuk mengadakannya di Baitul Maqdis. Agar pesan politik Muktamar ini jelas terukur, tersebar ke seluruh penjuru dunia. Berbeda jika diadakan di Makah, itu hanya akan dianggap ritual haji biasa, sehingga kurang memiliki pesan dan pengaruh.

Benar saja, pesan politik muktamar itu sampai ke Eropa. Mereka menganggap itu sebagai ancaman dan awal gerakan revolusi Palestina yang akan memicu gerakan-gerakan revolusi selanjutnya. Sebagaimana apa yang mereka saksikan dari pembukaan muktamar di surat-kabar dunia.

Karena pada awal 1930, Muhammad Amin telah berjanji dan bekerjasama dengan  Inggris untuk menyerahkan tragedi antara Muslim dan Yahudi pada tahun sebelumnya kepada pengadilan Inggris, dengan adanya Muktamar tersebut Inggris merasa khawatir, dan memanggil Muhammad Amin untuk datang ke London.

Dari sana ia melanjutkan perjalan ke Genewa, Swiss juga untuk memenuhi undangan Presiden Liga Bangsa-Bangsa, Sir Erick Raymond bersama  tokoh Arab lainnya. Di Genewa ini mereka membahas masalah Keadilan bagi Palestina dan Arab. Dan meminta agar dunia mendengar gambaran atau sisi lain dari Orang Arab sendiri. Bukan hanya dari Zionis yang selama ini memenuhi Eropa dengan opini-opini miring.

Sebenarnya, sumber dari masalah Palestina adalah kehadiran orang-orang Yahudi dan janji Menteri luar negeri Inggris, Lord Belfour kepada pemimpin Yahudi, Rotshield. Dalam perjanjian itu Lord Belfour mengatakan, “Sesungguhnya Inggris melihat dengan kasih sayang untuk mendirikan tanah air bagi golongan Yahudi di Palestina. Dan Inggris akan membantu sepenuhnya untuk mewujudkan cita-cita itu.”

Janji Belfour ini membuat masalah Palestina semakin ruwet, karena sebelumnya Kolonel Lawrence juga menjanjikan hal yang sama kepada Syarif Husein; Pendirian kerajaan Arab Raya yang meliputi Hijaz, Yordania, Irak, Lebanon, Suriah, dan Palestina.

Pada 1933 terjadi tragedi Holocaust, Hitler melakukan pembantaian kepada orang-orang Yahudi di Jerman dan wilayah-wilayah yang dikuasainya. Sehingga orang Yahudi dalam jumlah besar berbondong-bondong meninggalkan Jerman dan Eropa. Tempat yang paling banyak dituju adalah Palestina.  Jumlah kedatangan orang Yahudi dari Eropa yang masuk secara legal ke Palestina dari tahun 1933 hingga 1936 sekitar 154.300 (termasuk 34.700 Yahudi Jerman), belum lagi ribua yang ilegal. Sehingga Jumlah populasi Yahudi di Palestina meningkat  hampir 30%. Hal ini menimbulkan masalah yang cukup serius memicu terjadi ketegangan dan kerusuhan antara warga Arab dan Yahudi.

Pada musim semi 1927 kerusuhan itu berubah menjadi gerakan Revolusi Palestina, yang sering juga disebut “Revolusi Arab”. Ketika Pemerintahan Mandat Inggris menyatakan kondisi darurat, para pemimpin nasionalis Arab mendirikan Komite Nasional yang menyerukan pemogokan Umum. Posisi Muhammad Amin sebagai Mufti Palestina terjepit, sampai akhirnya ia memutuskan untuk menjabat posisi presiden di Komisi Tinggi Arab.

Peristiwa Revolusi itu mengakibatkan jatuhnya banyak korban, baik dari warga Palestina, orang Yahudi dan pegawai pemerintah Mandat Inggris.

Tapi Muhammad Amin menyatakan kepada pihak Inggris, Bahwa ia digerakkan oleh keinginan yang mendalam dan nyata untuk menempuh cara-cara sesuai Hukum dalam menegakkan hak-hak kemerdekaan bangsa Palestina. Bukan dengan cara kekerasan

Pada awal Januari 1937, Komite Tinggi Arab meminta kepada Inggris mencabut Mandat dan mengizinkan Palestina untuk menjalankan Pemerintahan sendiri. Inggris mengirim komisi Pell untuk menyelediki dan menyelesaikan masalah politis yang terjadi di Palestina. Pada 7 Juli, komisi ini menyarankan pemisahan Palestina menjadi dua: bagian Barat untuk kaum Yahudi dan wilayah timur untuk warga Palestina, dengan Baitul Maqdis tetap di bawah pemerintahan Inggris. Kebijakan itu memicu terjadinya Gelombang Revolusi yang semakin besar dan tidak lagi terbendung. Masa sulit dikendalikan. Puncaknya masa membunuh Komisaris Inggris di distrik Galilea. Karena kejadian itu Inggris mencabut posisi Muhammad Amin dari Mufti Palestina dan Dewan Agung Islam. Muhammad Amin kemudian melarikan diri ke Lebanon.

Revolusi Irak dan Perang Dunia II

Saat Perang Dunia II meletus tahun 1939, Perancis mengawasi dengan ketat aktivitas Muhammad Amin di Lebanon. Karena merasa gerakannya dibatasi, Muhammad Amin kemudian pindah ke Irak. 1 April 1941, ia membantu gerakan Revolusi yang dipimpin oleh Rasyid Ali al-Kailani menggkudeta kepemimpinan Abdullah al-Hasyimi. Namun kudeta ini hanya berlangsung sebentar sebelum akhirnya direbut kembali oleh tentara Irak pro-Inggris dan tentara Raja Abdullah 1 Yordania.

Ketika tentara sekutu Inggris akan memasuki Baghdad, Muhammad Amin terlebih dahulu lari menuji Iran. Dari Iran ia pergi ke Roma untuk bertemu Benito Mussolini, Pemimpin Fasisme Italia untuk membicarakan kerja sama dengan blok Poros. Bulan berikutnya ia pergi ke Jerman dan bertemu Hitler di istananya.

Kerja sama ini terjadi secara alami karena mereka memiliki musuh yang sama, yakni Inggris dan Yahudi. Karena kerjasama ini pula Muhammad Amin dituduh oleh orang Yahudi sebagai dalang tragedi Holocaust. Namun, hal ini dibantah karena tragedi Holocaust terjadi pada 1933, sedangkan pertemuan Muhammad Amin dengan Hitler baru terjadi pada 1941.

Sejak itu Muhammad Amin Aktif dalam Perang Dunia mewakili Pan-Arabisme yang tergabung dalam blok Poros (Jerman dan Italia). Ia bertugas untuk merekrut pemuda-pemuda Arab untuk bergabung dengan tentara Poros melawan Sekutu Inggris.

Ketika Jerman kalah dalam Perang Dunia II (1945), Muhammad Amin ditangkap Perancis. Inggris meminta agar Muhammad Amin dibawa ke Inggris dan diadili di sana. Namun permintaan itu tidak dikabulkan. Pada 1946, Muhammad Amin berhasil lari dari tahanan di Perancis dan terbang menuju Mesir.

Kedatangan Muhammad Amin di Mesir disambut hangat oleh raja di Istananya. Sambutan itu mengagetkan para tokoh Yahudi di Majelis Umum Inggris. Sampai pemimpin parlemen yang merasa heran mengatakan, “Siapa sebenarnya Muhammad Amin ini? Orang yang beberapa saat masih berada dalam tahanan polisi dalam sekejap sudah menjadi tamu seorang raja.”

Hubungan dengan Indonesia

Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia, Syeikh Muhammad Amin sering berkorespondensi dengan Hadrotusy Syeikh Hasyim Asy’ari. Keduanya saling menanyakan tentang perjuangan di negerinya masing-masing dan memberi dukungan satu sama lain.

Kemudian pada 6 September 1944, Muhammad Amin secara terbuka dan terang-terangan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia dan menyiarkannya melalui radio. Seruan itu disambut gelombang aksi solidaritas, dan dukungan kepada Indonesia oleh rakyat Palestina dan masyarakat kawasan Timur Tengah. Bahkan seorang saudagar Palestina sampai-sampai  merelakan sebagian kekayaannya untuk membantu perjuangan Indonesia. “Terimalah kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia,” Katanya.

Ketika Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan membutuhkan pengakuan internasional sebagai negara berdaulat, maka, Mesir dan Palestina  adalah negara pertama yang mengakui.

Perang Arab – Israel

Pada 1947, PBB memutuskan Palestina dibagi menjadi dua, sebagaimana saran komisi Pell dahulu. Dan pada tahun 1948 negara Israel berdiri. Israel mulai memperluas wilayahnya dan mengusir orang-orang Palestina dari tanah airnya. Tidak ada pilihan lain selain  perang. Maka Muhammad Amin bersama Pemimpin Arab lainnya membentuk Dewan Tinggi Arab untuk membebaskan Palestina. Dengan membentuk tentara yang dipimpin oleh Abdul Kadir al-Huseini yang akhirnya syahid dalam peperangan itu. Dalam perang Palestina berkoalisi dengan Mesir, Suriah, Irak dan Yordania.

Tahun 1957 Muhammad Amin menibggalkan Mesir menuju Beirut, Lebanon. Namun, semangat juangnya untuk membela Palestina tidak pernah surut. Di Beirut ia menggelar Muktamar Shahafi  yang diselenggarakan di gedung Organisasi Arab.

Pada Muktamar itu ia menyampaikan: “Sesungguhnya para musuh yang menguasai propaganda dan penyesatan opini, telah melakukan tipu muslihat kepada orang-orang yang berpikiran pendek tentang gerakan yang ada di sekitar Palestina;

“(Mereka menggambarkan, seolah-olah) bahwa kitalah yang mulai berperang dan membunuh; bahwa ada perselisihan mendasar tentang sifat entitas (negara) Palestina yang diharapkan, sebagaimana Organisasi Arab muncul –dalam pernyataan mereka (musuh)– dalam bentuk menentang entitas (Palestina) tersebut;  bahwa perselisihan ini berarti bentrokan nyata antara organisasi Arab (sendiri) dan badan-badan lain yang bertanggung jawab.

“Faktanya, fenomena ini adalah ilusi yang tidak memiliki dasar.

“Rakyat Palestina sepakat tentang perlunya mendirikan entiras (negara) mereka sendiri. Dan otoritas Arab adalah yang pertama bekerja untuk membantu mendirikan entitas (negara) ini. Saya memohon dan berharap Negara-negara Arab dan organisasinya  hendaknya mengupayakan usaha ini untuk menyatukan yang terpecah belah.

“Saya menghabiskan hidup saya untuk tujuan ini, dan tidak mungkin bagi saya untuk mengakhiri hidup saya dengan pengkhianatan terhadap prinsip-prinsip saya.”

Setelah Perang Arab-Israel ketiga, Juni 1967, Muhammad Amin al-Huseini meninggal dunia.  Seluruh dan sepenuh hidupnya ia dedikasikan tanpa henti, siang dan malam, untuk membela kepentingan Palestina, dunia Arab dan Islam. Semoga Allah membalas jasa-jasanya dengan sebaik-baik balasan, dan mengabulkan cita-citanya atas kemerdekaan Palestina. (Gus Muhammad Mujab, penulis buku dan pengasuh Pondok Pesantren Al-Yasir, Jekulo, Kudus)

)

Rujukan:

Al-Nahdlah al-Islamiyyah fi Siyariha al-Mu’ashirin, Juz.2 Dr. Muhammad Rajab al-Bayumi. Dar al-Qalam.

Al-Mausu’ah al-Muyassarah fi Tarikh al-Islamy, Juz.2. Fariq al-Buhus wa al-Dirasat al-Islamiyyah (Divisi Penelitian dan Pendidikan Islam)

Encyclopedia Holocaust, United Stated Holocaust Memorial Museum, [encyclopedia.ushmm(dot)org]

Nahdlatul Ulama dan Solidaritas Palestina, Rijal Mumazziq Z. smol(dot)id

Janji untuk Palestina, Abdul Kohar, Dewan Redaksi Media Indonesia, Mediaindonesia(dot)com

Comments