TIONGKOK,Suaranahdliyin.com – Dinamika hubungan diplomatik, tantangan ketenagakerjaan, serta peluang ekonomi dan sosial antara Indonesia dan Tiongkok menjadi pokok bahasan Seminar Nasional bertajuk Refleksi 75 Tahun Hubungan RI-RRT,, belum lama ini. Kegiatan yang diadakan Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Tiongkok ini menghadirkan pakar, jurnalis dan akademisi sebagai pembicara utama.
Para pembicara itu antara lain Iwan Santosa (Jurnalis Senior Harian Kompas dan Sekjen Perkumpulan Persahabatan Alumni Tiongkok Indonesia (PERHATI)), H. Irham Ali, M.A (Presiden NU Labor Confederation). Kemudian, Ahmad Syaifuddin Zuhri (Direktur Sino Nusantara Institute, PCINU Tiongkok), Sarah Hajar Mahmudah (Dosen Hubungan Internasional UIN Jakarta, sebagai Moderator).
Dalam pemaparannya, Iwan Ong menyoroti minimnya keterlibatan Indonesia dalam pasar halal global. Dibandingkan dengan Thailand yang aktif dalam pameran produk halal di Timur Tengah, produk pangan halal Indonesia belum terdengar gaungnya di pasar internasional.
“Indonesia sebagai negara Muslim terbesar harus lebih agresif dalam memanfaatkan peluang ini melalui kerja sama strategis dengan Tiongkok,”ujarnya.
Iwan juga mengingatkan pentingnya diplomasi Islam dalam memperkuat kerja sama ekonomi antara Indonesia dan Tiongkok. ” Roadmap kerja sama harus melibatkan kementerian terkait guna memastikan keberlanjutan dan manfaat bagi kedua negara,”tandasnya.
Irham Ali mengangkat isu bonus demografi dan tantangan ketenagakerjaan di Indonesia. Saat ini, Indonesia memiliki 150 juta angkatan kerja, tetapi 60% masih berada di sektor informal.
“Sementara, tingkat pengangguran usia muda (youth unemployment) mencapai 22%, menjadikannya salah satu yang tertinggi di Asia.”ungkapnya.
Meski investasi asing ke Indonesia meningkat dalam 15 tahun terakhir, kata dia, konversi investasi terhadap penciptaan lapangan kerja masih rendah. Investasi Tiongkok di Indonesia banyak terkonsentrasi di sektor ekstraktif (tambang dan sumber daya alam). Sementara sektor padat karya seperti garmen dan manufaktur belum banyak disentuh.
“Seharusnya pemerintah dan pemangku kepentingan mendorong investasi di sektor-sektor yang lebih banyak menyerap tenaga kerja, seperti manufaktur, tekstil, dan industri berbasis SDM.” katanya.

Dalam sesi terakhir, A. Syaifuddin Zuhri menekankan pentingnya hubungan antar masyarakat (people-to-people diplomacy) dalam memperkuat hubungan RI-RRT. Ia mengulas sejarah hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok yang mengalami pasang surut, dari hubungan erat di era Presiden Soekarno, pemutusan hubungan di era Orde Baru, hingga normalisasi di awal 1990-an.
“Saat ini, meskipun kerja sama ekonomi semakin erat, hubungan antar masyarakat kedua negara masih menghadapi tantangan persepsi negatif.”katanya.
Menurut Zuhri, masih cukup banyak masyarakat Indonesia memiliki stereotip negatif terhadap Tiongkok, baik karena faktor sejarah maupun narasi yang berkembang di media.
“Karena itu, saya mengajak organisasi seperti PCINU Tiongkok untuk menjadi jembatan dalam membangun pemahaman yang lebih baik melalui kerja sama akademik, pertukaran budaya, dan pendidikan.
Acara ini dihadiri oleh 200 lebih peserta secara hybrid daring dan luring, yang terdiri dari akademisi, jurnalis senior, perwakilan organisasi keagamaan dan buruh, serta mahasiswa Indonesia di Tanah Air maupun di Tiongkok.(rls/adb)