PMII, NU dan Peta Gerakan Islam Pascareformasi

0
19734

Oleh: Abdulloh Hamid

Pada masa orde baru, corak Islam Indonesia masih sederhana dan dikelompokan menjadi tiga golongan besar. Pertama, tradisionalis (melestarikan hal-hal baik yang lama dan mengambil hal baru yang lebih baik); kedua, modern (puritan dengan jargonnya kembali ke al-Quran dan hadis); ketiga, bukan bagian kelompok pertama dan kedua (non-mainstream).

Masa pascareformasi, gerakan Islam Indonesia semakin banyak dan kian sulit untuk mendeteksi. As’ad Said Ali dalam bukunya Ideologi Pasca Reformasi (2015), mengklasifikasikan menjadi lima tipologi ideologi besar.

Pertama, Islam modernis, dengan ciri utamanya memajukan Islam melalui pengembangan gagasan-gagasan rasionalisme, liberalisme dan modernisme. Strateginya, ada yang berorientasi politik melalui partai, ada yang menempuh jalan kultural dan menolak Islam-politik.

Lalu ada varian Islam modernis: liberal (sekularisasi politik dan ekonomi) dan radikal (menolak westernisasi dan sekularisasi), kelompok ini dibagi menjadi dua, yaitu liberal (JIL, pengikut Nurcholis Majid, dll), lalu radikal (Ikhwanul Muslimin dan Hizbuth Tahrir Indonesia).

Kedua, Islam tradisionalis konservatif. Yaitu Islam arus utama yang menjadi basis organisasi sosial keagamaan besar. Kelompok ini lebih mengedepankan sikap moderat, kooperatif, tidak oposan serta bisa bisa berakomodasi dengan negara (NU, Muhammadiyah, Perti, Persis, Al-Wasliyah, dll).

Ketiga, Islam transformis . Islam dipandang harus menjadi kekuatan progresif dan transformatif, dengan misi utama menegakkan keadilan, membela masyarakat marginal, melawan kezaliman politik dan ekonomi.

Kelompok ini berorientasi politik sekaligus kultural  dalam gerakannya, tidak punya problem dengan entitas negara nasional, pluralis, inklusif dan demokratis. Pemikir Islam kelompok ini, antara lain Muslim Abdurrahman, Masdar F. Mas’udi, Ali Asghar Engineer, Ali Shariati, dan Hassan Hanafi.

Keempat, Islam fundamentalis (neo revivalis). Kelompok ini mengagendakan kebangkitan hegemonis dunia Islam, cenderung menolak demokrasi, bergerak di bawah tanah, serta berorientasi sangat politis dengan basis jamaah yang eksklusif.

Kelompok ini secara keagamaan sering disebut dengan Salafi, yaitu kelompok yang ingin menerapkan Islam sebagaimana kalangan Salafi. Ciri utamanya, dalam memahami Islam sangat tekstualis, berpenampilan celana cingkrang dan berjenggot.

Kelima, gerakan Islam non mainstream secara umum dan tentatif. Gerakan baru non-mainstream ini mengambil dua bentuk, yaitu non Salafi (mengikatkan diri dengan semangat mewujudkan doktrin secara kaffah dalam arti literal)  dan Salafi yang berusaha mewujudkan cita-cita sosial politik Islam yang berbeda dengan formulasi gerakan Islam mainstream.

Bentuk gerakan politik ini dibagi menjadi tiga, yaitu jihadis (tindakan kekerasan atas nama jihad), reformis (bentuk aksi politik berupa tekanan terhadap pemerintah tanpa kekerasan) dan rejeksionis (penolakan terhadap demokrasi dan melakukan tekanan-tekanan terhadap berbagai kebijakan pemerintah).

Jenisnya ada dua, non Salafi seperti Darul Arqam, Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Isa Bugis, IIJABI, FPI, DI, HT dll. Sedang Salafi, seperti MMI, Laskar Jihad, Jamaah Islamiyah, Abdul Hakim Haddad, Yazid Jawad, Husein Assewed, kelompok Daurah, Halaqah, dan lainnya.

Posisi NU dan PMII

Melihat klasifikasi di atas, NU termasuk kelompok kedua, yakni Islam tradisionalis konservatif. Yaitu Islam arus utama yang menjadi basis organisasi sosial keagamaan yang besar, sikap dasar politiknya lebih mengedepankan sikap moderat, kooperatif dan tidak oposan serta bisa bisa berakomodasi dengan negara.

Jika mau menganalisa secara mendalam, NU mulai dari masa KH. Hasyim Asy’ari memilih jalan proaktif. NU hubungannya antara agama dan negara, sudah final. NU organisasi keagamaan pertama yang menerima Pancasila sebagai dasar negara, mengedepankan Maqohid Syari’ah: hifdzuddin (menjaga agama), hifdzunnafs (menjaga jiwa), hifdzul aqal (menjaga akal), hifdzulmal (menjaga harta), dan hifdzunnasl (menjaga keturunan).

Ideologi NU adalah ahlussunnah waljama’ah dengan dasar al-Quran – Hadis, Ijma’, Qiyas, disertai kaidah almuhafadzoh alal qadimisholih walakhdzu biljadidil aslah. Kelahiran NU pun tidak bisa lepas dari keberadaan komite hijaz sewakltu terjadi penguasaan kota suci Makkah-Madinah oleh Bani Saud, yang hendak membongkar makam Baginda Nabi Muhammad SAW, serta berkeinginan menerapkan paham Wahabi.

Kini, paham radikal sudah tidak hanya di Timur Tengah saja, melainkan sudah masuk ke Indonesia. Mereka melakukan ideologisasi melalui media-media, baik cetak maupun elektronik.

Dari 20 media elektronik berbasis website Islam, menurut data BNPT, 80% dikuasai oleh kelompok Islam radikal. Padahal generasi sekarang menyukai belajar agama Islam secara instan -biasanya melalui website- dan malas belajar agama Islam melalui kiai yang lebih otoritatif.

Dengan sifat-sifat itu, NU pun menjadi musuh bersama (common enemy) bagi ideologi-ideologi lain. Mereka satu sama lain punya irisan kesamaan gerakan puritan dengan jargon kembali kepada al-Quran dan Hadis, serta ingin mendirikan negara Islam. Dan NU, tetap istiqamah menjadi garda terdepan dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sikap NU dan PMII

Indonesia akan memasuki bonus demografi (2020-2035), dengan adanya generasi bangsa usia produktif yang sangat besar. Bonus demografi tersebut bisa menjadi berkah, tetapi juga bisa menjadi musibah.

Jika Indonesia bisa memanfaatkan bonus demografi tersebut dengan baik, maka akan menjadi negara yang maju. Tesis M Nuh, bonus demografi merupakan “takdir dari Allah”, dan Indonesia harus siap dengan konsekuensinya (menjadi berkah, atau sebaliknya).

Muktamar NU ke-33 NU di Jombang yang mengusung tema “Meneguhkan Islam Nusantara untuk Membangun Peradaban Indonesia dan Dunia”, nampaknya merupakan respons terhadap fenomena tersebut di atas.

Islam Nusantara di pilih sebagai salah satu ikhtiar NU menjadi salah satu best practice Islam di dunia: Indonesia dengan keanekaragaman suku, agama, ras, dan golongannya tetapi mampu hidup rukun berbangsa dan bernegara dengan “Pancasila” sebagai “kalimatun sawa” yang merupakan titik temu dari berbagai kebhinekaan yang ada.

Untuk menuju Islam Nusantara menjadi pusat peradaban Islam dunia, ada tiga pilar yang harus dikuasai oleh PMII, yaitu gerakan kebangsaan (nahdlatul wathan), gerakan ekonomi (nahdlatul tujjar), dan gerakan intlektual (taswirul afkar).

Kader PMII harus menyebar di tiga pilar tersebut. Faktanya, fenomena di lapangan banyak kader yang lebih banyak tertarik berkarir di politik praktis ketimbang di bidang lain. Maka, saatnya kini kader-kader PMII memenuhi pos-pos strategis di berbagai bidang lainnya, agar bisa mengambil peran membawa Indonesia meraih berkah dari bonus demografi.

Akhirnya, mari kita renungkan bersama pesan penting yang pernah disampaikan KH. Sahal Mahfudz, bahwa “Untuk menjadi orang baik cukup dengan diam, namun untuk menjadi orang yang bermanfaat, dibutuhkan pergerakan”. Wallahu a’lam. (*)

Abdulloh Hamid,

Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Pembina AIS Nusantara dan Divisi Media dan Informasi RMI-PBNU

Comments