Oleh: Mukhamad Zulfa
Aplikasi nilai luhur dengan mudah ditemukan dalam wilayah pedesaan. Gotong royong, tolong-menolong, sambatan, alang-tulung, grebuhan, gugur gunung dan beragam istilah lain di berbagai daerah di Indonesia, menunjukkan khazanah adiluhung dalam menguatkan masyarakat. Masyarakat hingga kini, pun masih menjunjung tinggi budaya warisan para leluhur.
Kekuatan masyarakat yang terletak pada solidaritasnya ini, mampu menolak budaya luar yang tidak sesuai dengan karakter bangsa. Lapisan masyarakat akar rumput, menguatkan satu dengan lainnya. Tepa salira menjadi hal penting yang selalu dipegang teguh, memiliki empati untuk merasakan beban orang lain. Mereka tak mudah tersulut dengan sesuatu yang bersifat provokatif.
Kemampuan tradisi yang dimiliki masyarakat mampu menjaga mereka secara tak langsung. Kekhasan tradisi yang tumbuh di masyarakat, bergerak dinamis seiring dengan perkembangan zaman. Namun, yang terpenting dari itu, adalah pelibatan seluruh elemen masyarakat untuk saling melengkapi satu dengan lainnya.
Selain itu, orang-orang di pedesaan mempunyai kepekaan yang tinggi, untuk terus menghidupkan kekayaan khazanah ini. Ada saja inisiatif dan ide kreatif, untuk tetap menghidupkan dan nguri-uri kearifan lokal. Kearifan lokal yang bernilai seni, upacara adat hingga reliji, bahkan tak sedikit yang kemudian menarik perhatian wisatawan, berkat ‘’kemasan’’ yang elegan, sehingga menjadikan kebudayaan menjadi lebih eksotis.
Disamping itu, kearifan lokal yang ada ini ditopang dengan kekuatan sendi agama, seperti kenduri yang disisipi nilai-nilai Islam dengan doa-doa tertentu, tanpa mengurangi substansi dari kenduri itu. Kekuatan agama yang menopang kebudayaan yang ada di sekitar inilah, yang akan sanggup bertahan. Nilai kebaikan ini tentu kalau kita tarik dalil al-Qur’an dan Sunnahnya tentu ada.
Sebab, tradisi yang ada tak hanya dalam bentuk keagamaan saja. Mengutip Hassan Hanafi (1935), tradisi (akan) senantiasa hidup di hati manusia. Ia memberikan pengaruh terhadap mereka secara negatif maupun positif.
Dalam buku “Oposisi Pasca Tradisi’’ (2003), disebutkan, tradisi tak sekadar tumbuh di masyarakat saja. Juga di sekolah, tempat ibadah dan lainnya di mana interaksi warga tumbuh. Tradisi menjadi alam bawah sadar masyarakat, sikap mereka senantiasa beriringan dengan tradisi yang mereka anut.
Kearifan lokal lain tumbuh dalam dunia pesantren. Pesantren masih identik dengan pedesaan. Apabila kita menyebut sebuah nama asli pesantren orang tak akan begitu paham. Akan tetapi ketika disebut nama daerah bisa desa, kecamatan bahkan kabupaten mereka akan lebih paham.
Kecintaan terhadap nama daerah ini diajarkan para kiai untuk menanamkan sikap cinta terhadap lokalitas dimana pesantren berada bukan pada pesantren itu sendiri. Kehidupan pesantren merupakan saripati pemahaman santri dan kiai atas kitab turats yang mereka pelajari tercermin dalam kehidupan sehari-hari.
Ada pula contoh lain yang dapat kita temukan dalam dasawarsa terakhir. Tentang kebanggaan akan atlet atau tim olahraga yang sedang bermain di kancah internasional. Rasa nasionalisme ataupun kedaerahan kita akan muncul. Secara otomatis kita akan mendukung penuh dengan adanya tim tersebut.
Kekuatan-kekuatan yang penulis sebutkan tadi tak cukup untuk menopang keberagaman dengan kemajuan informasi dan teknologi yang ada sekarang ini. Akademisi dan peneliti harus mulai turun untuk melakukan indigenisasi teori pengetahuan.
Teori ini berusahan untuk memahami hakikat pengetahuan dari perspektif masyarakat, baik itu berupa tata pikir yang bersifat harian maupun pengetahuan lokal (lokal knowledge) yang prailmiah. Hal ini bertujuan untuk mengembangkan sebuah sistem pengetahuan yang memadai bagi kepentingan kemanusiaan dan kemasyarakatan. (Aholiab Watloly, 2013)
Hal lain yang perlu diperhatikan, adalah bagaimana mengajarkan tradisi dan budaya adiluhung pada generasi selanjutnya. Generasi yang telah berbeda zaman, harus memgambil spirit dan nilai-nilai dari tradisi warisan para leluhur itu.
Dengan demikian, mereka akan mudah memahami apa tujuannya, sehingga mampu dibungkus menjadi sikap dan nilai yang sesuai dengan kehidupan mereka. Perekat yang berupa tradisi dan budaya ini, bisa menjadi pintu masuk dan sebagai gerbang benteng untuk mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) berbasis keislaman. Wallahu a’lam. (*)
Mukhamad Zulfa,
Penulis aktif di jaringan pesantren Jawa Tengah dan LAKPESDAM NU Kota Semarang. Penulis bisa disapa di akun instagram: @zulfa_ch