(Renungan 32 Tahun Pagar Nusa)
Oleh: Muchamad Nabil Haroen*
Tidak terasa, sudah 32 tahun lamanya, panji kita, PAGAR NUSA, menapaki usianya. Namun sesungguhnya, embrio Pagar Nusa sudah ada dan terlahir jauh sebelumnya. Pesilat/ pendekar santri cukup -bahkan sangat- berperan penting dalam masa pra dan pasca NU berdiri, juga kemerdekaan.
Sebagai sebuah organisasi, Pagar Nusa yang lahir 3 Januari 1986 memang masih cukup “belia”. Pagar Nusa masih harus banyak berbenah untuk terus berkembang dan mewujudkan kemandirian. Dan yang tidak kalah penting lagi adalah meneguhkan diri sebagai pagar NU dan bangsa.
Pagar Nusa memikul tanggung jawab yang tidak ringan, juga terhampar harapan besar banyak kalangan untuk kemajuan Pagar Nusa. Ruang gerak dan medan dakwah Pagar Nusa sangatlah luas. Tidak hanya sekedar mengurus pencak silat saja, namun juga tradisi, budaya, dan banyak lagi lainnya.
Dalam urusan pencak silat, ada tradisi juga prestasi. Keduanya harus sama-sama tumbuh berkembang, karena memiliki ruang lingkup yang cukup berbeda. Jika bicara tentang pencak silat prestasi, maka pertanyaan paling sederhana adalah sudah sebanyak dan sejauh apa prestasi yang diukir oleh Pagar Nusa. Entah prestasi di tingkat nasional maupun internasional.
Menuju ukiran prestasi ini pun juga membutuhkan instrumen yang tidak sedikit. Bagaimana pengurus di tingkatan masing-masing sudah melakukan pembinaan atlitnya? Sudahkah kejuaraan-kejuaraan pencak silat digelar untuk menguji kemampuan? Sudahkah atlit-atlit kita dibina dengan profesional dengan standar gizi yang memadai? Pertanyaan-pertanyaan itu harus terjawab.
Lalu berbicara pencak silat tradisi, ini juga tidak kalah luasnya. Ratusan aliran dan perguruan silat memiliki jurus khasnya masing-masing. Sejauh mana kemampuan kita menjaga khazanah itu dan memeliharanya dalam bhinneka yang membahana? Sudahkah segala “kekayaan” kita itu diinventarisir dan di”pasar”kan dalam market yang lebih luas?
Belum lagi bicara soal kanuragan dan olah spiritual. Pada dimensi ini, sangat tidak cukup kita bicarakan dalam beberapa paragraf kalimat saja. Selain dimensinya yang berbeda, sangat banyak pertanyaan yang akan muncul. Sehingga, momentum ini kita gunakan untuk membahas Pagar Nusa secara general. Di ruang dan waktu yang khusus, kita bicarakan lagi secara lebih spesifik dan mendalam.
Namun, terlepas dari itu semua, kita harus selalu teguhkan niat dan upaya kita. Untuk apa? Untuk berkhidmat kepada ulama dan bangsa. Kita bukanlah siapa-siapa tanpa ulama. Kita tidak akan menjadi apa-apa tanpa ulama. Dan kita selalu dan selamanya harus mengabdikan diri kita untuk ulama kita.
Kepada ulama lah kita menjaminkan diri, dunia dan akhirat. Di setiap saat, doa dan energi beliaulah yang melekat. Sehingga kita masing sanggup berdiri kokoh hingga saat ini, adalah berkah dari para ulama.
Akhirnya, mari kita syukuri Harlah ini. Jayalah Pagar Nusa kita! Berkhidmat membela kiai, bersilat menjaga NKRI!. (*)
*) Muchammad Nabil Harun,
Penulis adalah ketua umum Pimpinan Pusat Pencak Silat Nahdlatul Ulama (NU) Pagar Nusa