Oleh: Nisrina Nur Fauzia

Satu tahun berlalu, kondisi segala lini kegiatan masyarakat di Indonesia, berubah sejak penemuan kasus pertama Covid – 19 di Indonesia pada 2 Maret 2020. Pandemi Covid-19 menghambat segala sektor perkembangan yang ada di dunia, khususnya Indonesia, mulai dari sektor kesehatan, ekonomi, hubungan sosial hingga pendidikan. Satuan pendidikan merupakan salah satu sektor yang sangat terdampak dengan adanya pandemi Covid-19.
Pada akhirnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 4 tahun 2020 tentang kebijakan pelaksanaan pendidikan dalam masa darurat penyebaran Covid-19. SE itu merupakan usaha pemerintah memenuhi hak peserta didik, agar tetap dapat menikmati pendidikan di masa pandemi, dengan sistem pembelajaran non-tatap muka (daring).
Pemerintah menutup dan menghentikan segala aktivitas sekolah pada semua jenjang pendidikan. Itu untuk mencegah penularan Covid-19 di lingkungan pendidikan. Buntutnya, pembelajaran daring dilakukan di rumah, dengan didampingi orang tua (wali siswa) masing-masing.
Tenaga pendidik kemudian mulai bergerak mencari solusi pembelajaran daring. Mulai dari memodifikasi jadwal pembelajaran, metode, hingga materi agar dapat diikuti dan dipahami peserta didik.
Whatsapp Group, Youtube serta aplikasi konferensi lainnya, mendadak ramai digunakan untuk membantu pembelajaran daring. Aplikasi-aplikasi pendukung itu diharapkan dapat mempermudah proses transfer of knowledge, saat siswa dan guru tidak dapat bertemu secara langsung.
Keputusan yang dikeluarkan oleh Kemendikbud menuai tantangan, dan masalah baru di berbagai lini pendidikan. Mulai dari siswa dan guru yang harus belajar menggunakan aplikasi penunjang pembelajaran daring, para orang tua yang tak bisa mendampingi anaknya belajar karena bekerja dan tidak memahami teknologi.
Juga lingkungan pedalaman yang bisa jadi susah sinyal kapan saja, hingga kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan orang tua dan siswa untuk memiliki ponsel android dan membeli kuota. Seperti tak ada pilihan lain, pembelajaran jarak jauh (PJJ) tetap dijalankan hingga kini, untuk keberlangsungan proses belajar mengajar. Di sisi lain, teknologi telah (kini) berkontribusi besar dalam sektor pendidikan, agar proses pembelajaran tidak mandeg. Pertanyaannya, bagaimana dengan pendidikan karakter yang kini mulai sedikit terabaikan?
Padahal, pendidikan karakter diharapkan memberikan perkembangan yang baik bagi kehidupan masyarakat, dalam menjawab problematika degradasi moral yang marak. Pendidikan karakter harus ditumbuhkembangkan di tengah masyarakat sejak dini, mulai jenjang sekolah dasar (SD) hingga perguruan tinggi, untuk membentuk karakter luhur.
Dalam hal ini, guru memiliki peranan penting untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada siswa, karena guru merupakan panutan di lembaga pendidikan. Namun di masa pandemi, guru bukan satu-satunya penanggung jawab dalam penanaman karakter. Tetapi semua pihak; orang tua, anggota keluarga, juga masyarakat.
Dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2017 tentang penguatan pendidikan karakter (PPK), disebutkan, bahwa prinsip penguatan pendidikan karakter adalah mengorientasikan pada perkembangan potensi siswa secara menyeluruh dan terpadu, keteladanan dalam pendidikan karakter pada masing-masing lingkungan pendidikan dan berlangsung melalui pembiasaan sepanjang waktu dalam kehidupan sehari-hari.
Keteladanan dan pembiasaan merupakan titik penting dalam pengembangan karakter siswa, mengingat pendidikan karakter diharapkan mampu diwujudkan secara nyata dalam perilaku sehari-hari. Tidak hanya berupa tutur kata, namun juga diaplikasikan dalam perbuatan oleh semua komponen.
Namun fakta dalam pembelajaran daring, membuat tingkat kedisiplinan siswa menurun. Siswa lebih sering telat mengisi daftar hadir, dengan alasan ketiduran dan tidak ada yang membangunkan. Berbeda ketika pembelajaran di sekolah, kurang dari pukul 7, siswa sudah berada di kelas.
Maraknya game online juga sangat menghambat perkembangan karakter siswa. Siswa menjadi lebih sering bermain ponsel, tanpa menghiraukan keadaan sekitar hingga lupa waktu, atau membuat pagi harinya ketiduran dan lupa mengisi daftar hadir. Mereka menghabiskan waktu untuk bermain ketimbang belajar.
Dari sekian tantangan dan hambatan yang ada, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk membentuk karakter siswa. Sekarang ini, orang tua menjadi sentra pendidikan karakter dan memiliki kendali penuh atas pendidikan karakter siswa di rumah. Dengan membiasakan bangun pagi, beribadah kemudian membantu pekerjaan domestik orang tua, mengisi daftar hadir tepat waktu serta mengerjakan tugas tepat waktu, harus dibiasakan kepada setiap anak. Dari semua itu, orang tua memang tidak boleh luput dalam mengamati anak-anaknya.
Selain itu, tenaga pendidik juga dapat memulai pembiasaan ketika pembelajaran dilakukan melalui video conference. Dimulai dari berdoa ketika KBM akan dimulai, memerhatikan guru ketika guru sedang menjelaskan materi, dan mengikuti KBM dengan baik. Guru juga dapat membagikan formulir skala sikap kepada orang tua yang kemudian diisinya, sehingga guru dapat memantau perkembangan anak didik dari jauh. Dalam hal ini, guru dan orang tua dituntut untuk bekerja sama, agar dapat membentuk karakter anak tersebut.
Seorang tenaga pendidik juga dapat memberikan tugas kelompok, untuk didiskusikan secara daring. Guru harus berada dalam kegiatan diskusi itu, agar bisa menilai sikap siswa dari segi etika berkomunikasi, kemandirian, tanggung jawab dan lainnya.
Memang tidak mudah membiasakan siswa melakukan hal-hal baik, ketika kita sendiri tidak bisa membuka tangan untuk mengajarkannya secara langsung. Tetapi bagaimanapun, pendidikan karakter harus tetap berjalan untuk kebaikan bangsa dan negara. Tidakkah demikian? (*)
Nisrina Nur Fauzia,
Penulis adalah mahasiswa program Manajemen Pendidikan Islam (MPI) Pascasarjana IAIN Kudus.