Majiro, Pesan Menjaga Kearifan Lokal dari Panggung Teater

0
880
Pementasan Teater Akar dengan lakon Majiro

KUDUS,Suaranahdliyin.com – Desa Rahtawu kecamatan Gebog Kabupaten Kudus mempunyai banyak kearifan lokal yang perlu dijaga. Mitos, tradisi, kepercayaan dan adat istiadat setempat masih dilangsungkan sampai sekarang.

Malam satu suro atau malam tanggal 1 Muharram tahun hijriyah menjadi momen yang cukup sakral bagi masyarakat desa Rahtawu. Hal itu tergambarkan lewat pementasan Teater Anak Kali Rahtawu (AKAR) di Gedung Auditorium Universitas Muria Kudus, Sabtu malam (25/02/2023).

Pementasan yang berlangsung kurang lebih 2,5 jam ini dilakukan oleh 30 personel lintas usia. Diawali dengan tarian sesaji Malam Siji Suro (Majiro), pentas produksi ke 15 yang disutradarai oleh Sugiarto ini menjadi bukti, budaya dan kearifan lokal dapat disebarluaskan lewat panggung teater.

Pada pementasan tersebut, masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, bapak-bapak, ibu-ibu, hingga sesepuh desa memperingati malam satu suro dengan menyelenggarakan adat desa yang bertahun-tahun sudah berjalan. Konflik yang dimunculkan di tengah pementasan, menjadi sebuah pesan tersirat masyarakat untuk terus menjaga kearifan lokal yang ada.

“Kami mencoba mengangkat budaya kearifan lokal desa Rahtawu tentang malam 1 suro, naskah ini dikerjakan secara kolektif anak-anak muda rahtawu sendiri, yang tentu dengan saran pegiat literasi dan para sesepuh desa,” ungkap Sugiarto, ditemui Suaranahdliyin.com usai acara, Sabtu (25/02/2023).

Pak Gik, sapaan akrabnya, menyampaikan bahwa pementasan ini merupakan kali pertama Teater Akar pentas di Auditorium UMK. Dia pun tak menyangka antusias masyarakat Kudus menyaksikan panggung teater dengan kearifan lokal yang dibawakan malam ini begitu tinggi.

Naskah yang dipentaskan, kata Pak Gik memang sangat kental dengan kebiasaan masyarakat Rahtawu. Dialog-dialog bahasa jawa, perilaku masyarakat sehari-hari, anak-anak yang bermain, masyarakat yang masih percaya mitos ditampilkan dalam satu kemasan di atas panggung.

“Kami memang terbiasa menampilkan pementasan yang mudah diterima masyarakat rahtawu. Kali ini kami mengangkat kearifan lokal, dengan kemasan baru yaitu tarian sesaji satu suro di awal dan akhir pentas,” terangnya.

Keterlibatan anak-anak di atas panggung juga menjadi daya tawar pentas Majiro kepada ratusan penonton. Dirinya mengaku melibatkan anak-anak asli Rahtawu untuk bermain dan belajar teater secara langsung.

“Mereka bisa belajar pendalaman karakter, keberanian, mental di atas panggung, rasa empati dan sebagainya. Ini menjadi salah satu media belajar anak-anak yang tidak ditemukan di bangku sekolah,” ujarnya.

Dengan pementasan Majiro ini, pihaknya berharap ke depan masyarakat lebih mempunyai sikap dalam melihat adat istiadat dan kebudayaan di daerah masing-masing. Masyarakat perlu menjaga, menghormati dan melestarikan setiap kearifan lokal yang ada, dan mewariskannya kepada generasi penerus.

Selain itu, dirinya juga berharap semakin banyak pelaku seni teater di Kudus yang mencoba mengangkat kearifan lokal sebagai naskah teater. Teater dapat menjadi media dan wahana belajar dalam berproses, menjaga dan melestarikan nilai-nilai luhur lewat pementasan teater.

“Harapannya teater menjadi salah satu media anak-anak, generasi muda untuk belajar, berproses, belajar karakter, dan nilai-nilai lain yang tidak ditemukan di sekolah,” pungkasnya.

Comments