
Oleh: Noor Aflah
Siapa tak kenal KH. Maimun Zubair? Kiai kharismatik asal Sarang, Kabupaten Rembang yang keilmuannya tidak hanya diakui di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri.
KH. Maimun Zubair lahir pada 28 Oktober 1928 M (1347 H). ia merupakan putra dari pasangan Kiai Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah binti Kiai Ahmad bin Syuaib. Setelah kelahiran cucunya, Ahmad bin Syu’bah (kakek dari KH. Maimun Zubair) menyempatkan “sowan” kepada Kiai Faqih Maskumambang agar cucunya didoakan supaya kelak menjadi orang besar, alim, berguna bagi bangsa dan Negara.
Kendati lahir di daerah pesisir yang terkenal keras, namun kepribadian Mnah Maimun –sapaan KH. Maimun Zubai- sangat jauh berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Ia begitu lemah lembut dan penyayang.
Ayah dan kakeknya telah mendidik semenjak usia dini. Di usia kanak-kanak, Maimun Zubair telah terbiasa dengan berbagai hafalan ilmu keagamaan. Sehingga, dengan keberadaan ilmu ini menjadi alasan dan membuat serta membentuk karakternya menjadi pribadi yang ramah dan saleh. Maka tak heran jika kini ia menjadi sosok yang sangat disegani oleh berbagai khalayak, ulama yang menjadi rujukan di negeri ini.
Tamunya tak hanya datang dari Indonesia. Banyak juga ulama (cendekiawan Islam) dari berbagai negara, yang jauh – jauh sowan ke Mbah Maimun di Sarang, untuk bersilaturahim, berdiskusi dan kepentingan lainnya.
Kecintaannya akan ilmu agama, ketegasan dan keteguhannya, menurun dari sosok sang ayah. Sedangkah rasa kasih sayang dan kedermawanannya, ia teladani dari kakek.
Semasa kecil, keseharian Maimun Zubair senantiasa dihabiskan untuk mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Sebagai pelayan ilmu, Mbah Maimun telah menempati posisi penting sebagai salah satu penerus sanad keilmuan Islam Nusantara.
Dengan posisinya yang demikian, tak heran jika banyak yang sowan setiap hari. mulai dari rakyat biasa, pejabat, politisi, kiai, dan dari kelompok – kelompok masyarakat lainnya. Para pemimpin negeri ini, pun tak sedikit yang pernah sowan kepada Mbah Maimun, seperti Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi), Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jusuf Kalla (JK), dan Hamzah Haz.
Riwayat Pendidikan
Pendidikan Mbah Maimun sepenuhnya diperoleh dari pendidikan non formal. Meskipun ini tidak hanya terjadi pada KH. Maimun tetapi kedudukan istimewa ini sudah sangat jarang di era modern seperti saat ini.
Sejak kecil, Maimun memulai pendidikan dengan ayahandanya sehingga ia tidak pernah lepas dari pengawasan. Sejak usia dini pula, Maimun Zubair telah terbiasa dengan berbagai hafalan kitab matan yang menjadi pondasi dalam dalam memahami hukum Islam.
Setelah belajar di daerahnya, Maimun Zubair hijrah ke Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur pada 1945-1949. Di pesantren ini Maimun banyak belajar ilmu dengan para ulama yang sangat masyhur seperti kiai Abdul Kari, kiai Marzuqi, dan kiai Mahrus serta beberapa kiai lainnya.
Selama dalam pencarian ilmu, Maimun Zubair juga banyak melakukan riyadhoh, memulai hidup dengan penuh kesederhanaan tanpa menginginkan kemewahan. Pada 1949 M., ia memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya untuk belajar mengamalkan ilmu yang sudah diperoleh. Ia pun membangun sebuah madrasah dengan biaya dari ayahnya.
Pada tahun 1950 M, KH. Maimun kembali melakukan pengembaraannya mencari ilmu. Dengan biaya dari Kiai Ahmad bin Syu’aib ia berangkat menuju kota Makkah beserta kakeknya (Kiai Ahmad bin SYu’aib) dan pamannya, kiai Abdurrahim bin Ahmad. Di Makkah, Maimun Zubair memanfaatkan waktunya untuk belajar bersama kiai-kiai besar di tanah Haramain dan berpengaruh seperti Syaikh Hasan Al-Masysyath.
Kiprah
Untuk kiprah dan perjuangan Mbah Maimun, tentu tidak diragukan. Baik dalam pengembangan keilmuan, kiprah politik dan kebangsaan. Di Nahdlatul Ulama (NU), ayahanya Wakil Gubernur Jawa Tengah, H. Taj Yasin, ini menjadi ‘’sesepuh’’ dan ‘’rujukan’’.
Selain itu, beberapa kiprah lain adalah menjadi Mudir ‘Am madrasah Al-Ghazaliyyah dari awal berdirinya hingga saat ini, Nadhir masjid Jami’ Sarang yang berada di sebelah Barat Desa Sarang, Rembang, dan Ketua Badan Pertolongan dan Sosial Sarang (1967 – 1975 M).
Mbah Maimun juga pernah menjadi anggota DPRD Kabupaten Rembang (1971-1978), anggota MPR RI utusan Jawa Tengah (1987 – 1999), Ketua Syuriah NU Provinsii Jawa Tengah (1985 – 1990), Ketua MPP PPP (1995-1999) dan Ketua Majelis Syuriah PPP (2004 – sekarang).
Sedikit kiprah itu saja sudah menunjukkan, betapa besar perannya dalam hal kemasyarakatan dan kebangsaan. Belum lagi, Mbah Maimun juga cukup produktif menulis kitab, yang dikaji oleh para santri di Nusantara.
Semoga Mbah Maimun senantiasa diberi kesehatan dan kekuatan. Petuah – petuah panjenengan untuk memecahkan berbagai permasalahan kemasyarakatan dan kebangsaan, selalu kami nanti, Mbah Yai. Tabik. (*)
Noor Aflah,
Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, dan sedang meneliti Kitab ”Nushush al-Akhyar fi al-Shaum wa al-Ifthar” karya KH. Maimun Zubair.