Oleh: H. Hisyam Zamroni
Layaknya seorang santri, Yik Luthfi –demikian KH. Abdullah Hadziq Balekambang biasa memanggil Habib Luthfi- saat mondok di Pondok Pesantren Balekambang pada 1961. Habib Luthfi mondok di Balekambang sekitar dua tahun.
Selama di pondok, Yik Luthfi berbaur dengan santri-santri lain dan tidak ada yang membedakannya. Tidur pun dengan di lantai pondok ala kadarnya.
Habib Luthfi pun selalu terkenang masa-masa mondok di Balekambang. Menurutnya, Mbah Dullah –sapaan akrab KH. Abdullah Hadziq- adalah pribadi yang “open’’ dan ‘’telaten” kepada para santrinya.
Itu, antara lain ditunjukkan dengan menghormati para santri dengan panggilan yang akrab dan tidak membedakan satu dengan lainnya. ‘’Setiap santrinya di panggil dengan panggilan ‘kang’ oleh Mbah Dullah,’’ kenangnya.
Selain itu, Mbah Dullah sangat disiplin dan istiqomah dalam mendidik santri-santrinya. Dalam ini, beliau itba’ dengan kiainya: KH. Hasyim Asy’ari saat mondok di Tebuireng, Jombang.
Kedisiplinan beliau semakin tertempa saat Resolusi Jihad NU dan meletus perang 10 November. Mbah Dullah ditugasi KH. Hasyim Asy’ari secara khusus mengamankan dan menyiapkan logistik para pejuang melawan Pasukan NICA di bawah pimpinan Inggris. Sejarah kecil ini terlupakan oleh banyak orang.
Habib Luthfi pun mengisahkan sebuah cerita lain terkait Mbah Dullah. Mbah Dullah pada waktu senggang mengajak “mayoran” santri-santrinya. Dan sebagai sebuah tradisi santri Balekambang saat itu, jika mbah Dullah mengajak mayoran, maka para santri langsung berhamburan mengambil pancing untuk mancing ikan lele, bethik, kuthuk dan ikan apa saja di sungai belakang pondok, kemudian dimasak bareng untuk mayoran santri.
Memasuki Ramadan, banyak santri berdatangan untuk ‘’ngaji posonan’’ kepada Mbah Dullah. Suatu ketika saat Ramadan, ada peristiwa yang menyenangkan Habib Luthfi. Saat semua santri tidur di lantai, Habib Luthfi tidur di bawah kenthongan pondok.
Sebagaimana kebiasaan di pondok, saat Shubuh tiba santri menabuh kenthongan lebih lama bak musik enak renyah enjoy. Habib Luthfi kaget saat kentongan ditabuh. Habib Luthfi, dikiranya ada musik, sehingga secara reflek Habib Luthfi menari dan mbah Dullah tertawa lepas melihat kejadian itu.
‘’Baru kali ini Saya melihat guruku tertawa lepas. Biasanya yang Saya lihat Mbah Dullah selalu tersenyum,’’ kata Habib Luthfi yang mengaku senang bisa melihat guru kinasihnya tertawa lepas
Sungguh, ini ibroh bagi kita semua untuk saling mengasihi, menyayangi dan menghormati satu sama lain tanpa melihat status sosial dan apapun juga. Semoga kita dan anak cucu kita, bisa meneladani kearifan dan ahlaqul karimah KH. Abdullah Hadziq. (*)
H. Hisyam Zamroni,
Penulis adalah Wakil Ketua NU Kabupaten Jepara dan kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Keling, Jepara.