Jangan Buat Kebijakan yang Mematikan Madin

0
1733

Riuh para santri Madrasah Diniyah (Madin) Raudlatul Wildan, Desa Ngembalrejo, Kecamatan Bae, Kudus itu begitu nampak. Beberapa santri berbincang satu sama lain. Ada pula yang membeli penganan kecil ala kadarnya, menjelang pukul 14.00, sebelum jam belajar di mulai.

Itu sedikit kenangan Syarif Haidar Budairi, sekitar 11 tahun silam, saat dirinya masih menjadi santri di Madin tersebut. Masih lekat dalam ingatannya, betapa Madin demikian memiliki peranan penting dalam membimbing anak-anak kader bangsa. ‘’Banyak pengkajian agama yang saya pelajari di Madin. Mulai kajian fikih, tauhid, adab, dan juga tata Bahasa Arab serprti nahwu dan sharf,’’ kenangnya.

Namun, seiring perkembangan zaman, minat anak-anak atau generasi muda belajar di Madin, kian menurun dari waktu ke waktu. “Banyak faktor mengapa anak-anak sekarang banyak yang tidak mau belajar di Madin. Bisa karena lingkungan, atau bisa juga lantaran banyak tugas sekolah yang mesti dikerjakan,” ungkap ketua PR. IPNU Ngembalrejo ini.

Ya, Madin memang memiliki peranan tak terperikan dalam membina karakter generasi bangsa ini. Kesadaran itu pula yang antara lain kiranya mengilhami KH. Ahmad Sudardi mendirikan Madin dan lembaga pendidikan lain, yakni TPQ dan pendidikan formal jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTs.) di Desa Jetiskapuan, Kecamatan Jati, Kudus.

“Madin yang kami beri nama Nurul Huda ini baru berdiri pada 1984. Waktu itu belum memiliki ruang belajar. Untuk Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), dilaksanakan di rumah saya. Bekal mendirikan Madin ini yaitu niat dan keikhlasan dalam mengajar untuk menguatkan nilai-nilai Islam di tengah masyarakat,” paparnya kepada Suara Nahdliyin, Rabu (31/8/2017).

Hadapi Kendala

Mendirikan Madin kendati dengan niat baik, namun tentu tidak lepas dari persoalan. Kendala yang dihadapi cukup beragam, khususnya adanya pro dan kontra. “Alhamdulillah, Madin biisa berdiri dengan santri di tahun pertama sebanyak 50 santri,” ungkapnya.

Dalam perjalanannya, Kiai Sudardi dibantu oleh beberapa gudu (ustadz) yang ikut berjuang mengembangkan Madin untuk sebagai medan perjuangan. Mereka antara lain Sholikin, Syuaib, Masyhadi, Basyrun, dan Nur Fatah.

Nur Fatah menyampaikan, lambat laun, Madin berkembang. Antusiasme masyarakat memasukkannya belajar di Madin cukup tinggi, karena sadar akan pentingnya ilmu agama. Santri di Madin Nurul Huda pernah mencapai 200-an santri.

“Madin mengambil peranan penting dalam membentuk karakter (akhlak) anak, sehingga pendidikan di Madin tidak bisa dipandang sebelah mata. Madin ini menjadi ruang mendidik kader-kader ahl al-sunnah wa al-jamaah (Aswaja),” urai Fatah yang mengajar di Madin sejak 1985.

Namun kini, dia begitu prihatin melihat kondisi Madin yang kian ditinggalkan anak-anak dan generasi muda. “Sangat disayangkan kalau Madin harus mati, apalagi jika itu terjadi karena kebijakan sekolah formal yang tidak berpihak pada eksistensi Madin” tegasnya.

Untuk itu, dia berharap agar pemerintah senantiasa memperhatikan keberadaan dan eksistensi Madin, karena peranan penting dan kontribusi positif yang telah diambilnya dalam membangun bangsa.

“Jangan sampai pemerintah membuat kebijakan yang membuat Madin gulung tikar. Madin adalah lembaga pendidikan alternatif, yang sejak lama telah membimbing masyarakat menjadi masyarakat religius dan berkarakter,” tandasnya. (Yaumis Salam)

Comments