Ikhtiar Kecil Majukan Literasi Kebudayaan Desa
Dari Catatan ke Narasi

0
728
Ketua STAIN Syaikh Jangkung, Pati yang juga penggoat Omah Dongeng Marwah (ODM), Edy Supratno, menyampaikan paparan di depan peserta kelas kebudayaan dalam Festival Pager Mangkuk KBPW, belum lama ini

Capung sering terbang di sekeliling rumah dan berkelompok. Namun bila tiba-tiba capung yang terbang jumlahnya sangat banyak, itu pertanda air sungai akan naik, meluap, yang bisa mengakibatkan banjir bandang.

Dan perlu dipahami, jika binatang liar masuk kampung, burung mencicit tiada henti, atau tak tampak satu pun burung yang biasanya ada, binatang piaraan di rumah gelisah, maka waspadalah. Bisa jadi kondisi itu menjadi pertanda akan datangnya bencana.

Di atas saya kutip dari buku “Menjaga Desa Kami dengan Pendidikan Bencana” (Penerbit UMK, 2017). Sebuah buku tentang upaya memberikan pemahaman tentang kebencanaan di Desa Tempur di Jepara, yang ditulis oleh beberapa guru MTs Mathali’ul Huda di bawah Yayasan Walisongo Desa Tempur, didukung aktivis MRC Indonesia.

Sunan Muria Today (Tiga Media, 2016), mengulas seputar Sunan Muria, ketokohannya, hingga budaya dan potensi yang ada di kawasan Muria. Buku itu ditulis oleh para akademisi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (FIB Undip), Semarang.

Pada 2008, buku “Samin Kudus: Bersahaja di Tengah Asketisme Lokal” karya Moh Rosyid diterbitkan Pustaka Pelajar. Buku tersebut memotret “Kampung Samin” di Kudus dari berbagai sisi.

Apa yang ingin saya sampaikan di sini sederhana, yakni bawa tiga contoh karya di atas, adalah sebuah catatan (baca: kajian) tentang desa, dengan tema sesuai kondisi di masing-masing desa yang “dipotret”.

Hanya, dalam penulisannya, dilakukan oleh para akademisi yang sehari-hari memang berkutat dengan buku dan teori-teori ilmiah yang njlimet (ribet). Dan tentu “ada kepentingan” lain di balik penulisannya (?).

Peran Warga

Berbeda dengan contoh di atas, gagasan untuk memajukan literasi kebudayaan desa, tidak harus bergantung dengan akademisi kampus dengan teori-teorinya dan segudang referensi yang bisa saja disajikan.

Pada upaya memajukan literasi kebudayaan di desa (kampung), justru warga harus didorong peran dan keterlibatannya dalam implementasi dan pembumian literasinya.

Apa yang harus dilakukan?

Dalam upaya itu, warga perlu diajari untuk membuat catatan-catatan tentang desanya, baik cerita kearifan dan beragam potensi yang dimiliki. Didik mereka untuk mencatat dan memotret dinamika yang ada di lingkungan sekitarnya.

Setelah itu, ajari mereka untuk menarasikan dari data-data yang telah mereka catat. Biarkan mereka menarasikan dengan bahasa mereka sendiri, hanya saja arahkan agar narasinya mudah dicerna oleh masyarakat luas.

Catatan-catatan itu, yang sudah dinarasikan, diberi “ruang apresiasi”. Antara lain dengan mempublikasikannya di media sosial, di situs (jika punya), atau jika memang memungkinkan -karena telah terkumpul narasi yang memadai- untuk diterbitkan dalam bentuk buku, maka akan dahsyat, tentunya.

Barangkali, produk literasi warga dari catatan warga itu kurang ideal, baik secara metodologi maupun teori-teori penulisan. Namun yakinlah, catatan-catatan seperti itu akan menjadi sangat penting artinya ke depan.

Pertama; ada ruang apresiasi bagi karya warga. Kedua; ikut mencerdaskan dan memberi pencerahan. Ketiga; bisa sebagai bahan awal para peneliti/ akademisi yang tertarik dengan narasi yang disajikan.

Akhirnya, perlu kita ingat, bahwa dari masa ke masa, (tradisi) literasi menjadi hal penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Dan berkat perkembangan literasi pula, peradaban dunia dari waktu ke waktu mampu bertahan dan mengalami kemajuan. Wallahu a’lam. (*)

Rosidi, pemimpin redaksi Suaranahdliyin.com. Tulisan di atas sekadar pemantik diskusi dalam “Festival Pager Mangkuk” yang digelar oleh Kampung Budaya Piji Wetan (KBPW), Dawe, Kudus.

 

Comments