Oleh: Kasmi’an
Raut wajah riang gembira tampak bersinar dari para wisudawan/ wisudawati di sebuah acara prosesi sidang senat terbuka wisuda di salah satu perguruan tinggi di Kota Semarang. Kegembiraan terpancar dalam binar sorot mata orang tua, keluarga dan calon mertua yang nampak bahagia.
Prosesi wisuda menjadi acara seremonial yang cukup sakral, sebagai penanda seseorang telah sah mendapatkan gelar kesarjanaan. Namun, tidak banyak yang menyangka, terkadang ‘kegembiraan’ itu hanya sekelebat, sesaat, di hari wisuda itu saja.
Selepas wisuda, mereka dituntut untuk menyambut masa depan yang lebih kompetitif di era millineal ini yang demikian berat persaingannya. Mereka harus mampu dan bisa memainkan ‘jurus-jurus’ dari beragam ilmu yang ditelah dipelajari, untuk ‘menaklukkan’ beratnya persaingan hidup dan sempitnya lapangan pekerjaan.
Merebaknya budaya koorporasi, nasabisme, dan bau-bau nepotisme, adalah fakta yang kian hari kian menjamur di semua lini. Ini mengharuskan mereka memutar otak seribu kali, untuk mengekspresikan keilmuannya di dunia lapangan kerja.
Iwan Fals mengilustraikan beratnya beban hidup pascawisuda dalam salah satu lagunya: Sarjana Muda. Setelah lulus dari bangku kuliah, mereka banyak yang menyodorkan secarik kertas tanda lulus, mengetuk pintu-pintu lembaga dengan harap ada yang menerimanya untuk ‘berkarya’. Sedang IPK tinggi, lulus dengan Cum Laude pun, tak menjamin tuk segera ‘mendapatkan tempat layak’ di dunia profesional.
Namun begitu, jangan kawatir para intelektual muda yang baru saja meraih gelar Sarjana. Ciptakan lapangan kerja dengan menjadi jiwa-jiwa yang kreatif. Lalu bertawakkal lah kepada Allah SWT., Tuhan Yang Maha Kuasa. Kepada-Nya lah kita memohon kekuatan dan pertolongan agar sukses menghadapi kerasnya persaingan. Wallahu a’lam. (*)
Kasmi’an,
Penulis adalah alumnus madrasah Miftahul Falah Cendono, dan saat ini sedang berjuang menyelesaikan studi Magister Ilmu Hukum (MIH) Universitas Muria Kudus (UMK). Ini adalah catatan pribadi untuk keponakannya yang sedang wisuda.